Kinanti Laudyara adalah seorang PA profesional. Jasanya sudah terdengar hingga ke selesar istana para konglomerat tanah air maupun mancanegara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia sudah pernah bekerja pada belasan keluarga old-money yang tersebar di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku butuh sponsor." Rash menatapku lamat-lamat. "Sponsor besar dengan nominal yang tidak sedikit."
Sebelah alisku terangkat. "Lalu?"
"Aku membutuhkanmu, Kakak Tertua." Rash berdeham sebelum memberiku senyuman lebar. "I need your money."
"Kamu anak bungsu Hanggara Wiryatama. Uang dia adalah milikmu, Adik Kecil. Kenapa harus repot-repot ngemis padaku?"
Rash tidak langsung menjawab. Ia menatapku malas sebelum menjawab, "lukisan atau karya seni mana yang sedang kamu incar? Lukisan Genevieve? Lukisan Tiongkok kuno? Atau Guci abad ke-15?" Tanyanya mengabaikan ucapanku sebelumnya. "Bulan depan Northi's akan mengadakan pelelangan karya seni super antik di Beijing. Katakan saja apa yang kamu mau dan aku akan mendapatkannya. Sebagai gantinya, jadilah sponsor utamaku."
"Kenapa aku harus mau? Untuk ukuran calon sponsor utama, aku sama sekali belum menerima proposal resmi," ujarku santai membuat Rash yang sedang duduk di atas sofa memutar bola mata.
"Aku akan meminta asistenku mengirim proposal secepat mungkin, setelah kamu setuju."
"Aturan dari mana itu? Aku harus membaca proposalnya dulu sebelum setuju menjadi sponsormu utamamu itu. It's basic, Rash. Ini bukan pertama kalinya kamu menggelar exhibition."
"Aku perlu kepastian. Agar nanti saat aku mengajukan proposal padamu, kertas itu tidak akan sia-sia." Rash mengedipkan sebelah mata. "Menjaga keseimbangan antara pohon dan kebutuhan akan kertas, Brother. Support Go Green."
Aku mendengus. Sejak kapan dia peduli pada lingkungan?
"Siapa pelukismu kali ini?"
Saat Rash memberiku senyum lebarnya, aku mendapat firasan buruk. "Aku sendiri," jawabnya kemudian.
Kontan saja aku langsung menggeleng ngeri, alih-alih tersinggung, anak itu malah tertawa keras. Tau sendiri kalau aku skeptis pada kemampuannya dalam melukis. Tidak, kemampuan Rash dalam seni lukis-melukis tidak seburuk itu, ia cukup pandai menggoreskan kuas di atas kanvas atau media lukis lainnya. Namun untuk sampai menggelar pameran tunggal yang memajang puluhan karyanya sendiri... entahlah, aku tidak yakin.
Lagipula selama ini Rash tidak benar-benar serius menekuni hobinya itu. Dia jarang sekali terlihat duduk serius selama berjam-berjam di depan kanvas. Anak itu melukis hanya ketika dirinya sedang bosan dan tidak bisa merecoki kakak-kakaknya.
"Estiawan bersaudara. Anak didik Amarta Mallura, kamu pasti tahu mereka."
"Tidak banyak. Aku pernah melihat salah satu karya mereka dan," bahuku menggidik, "tidak buruk."
"Kamu baru melihat satu, itupun sekilas. Aku berani jamin, mereka lebih dari itu. Aku salah satu saksi hidup mereka berproses."
Sejauh yang kutahu, Rash tergabung dalam salah satu komunitas seni lukis terbesar di Indonesia. Komunitas itu mewadahi pelukis-pelukis muda berbakat yang karyanya sering tembus di International Exhibition. Setahuku, Rash memiliki peranan penting di sana. Entah sebagai apa, yang pasti bukan sebagai pelukis aktif. Jadi, setiap kali dia mencari sponsor untuk pameran tunggal atau kelompok, itu bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk seniman-seniman yang karyanya ia anggap layak untuk dipamerkan.