Kinanti Laudyara adalah seorang PA profesional. Jasanya sudah terdengar hingga ke selesar istana para konglomerat tanah air maupun mancanegara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia sudah pernah bekerja pada belasan keluarga old-money yang tersebar di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kamu susah sekali ditemui, Kinanti."
Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat menyanggupi permintaan bertemu empat mata dengan wanita ini. Atau justru karena aku tidak berpikir sama sekali, jadi aku begitu saja mengiyakan ajakan—paksaan, Tara untuk bertemu di salah satu restoran hotel ternama ini.
Akhir-akhir ini aku merasa sikapku lembek sekali, gampang terpengaruh oleh hal-hal yang biasanya mampu kuhadapi dengan mudah tanpa merasakan rasa was-was yang berkepanjangan terlebih dulu. Tara benar-benar berhasil menekan tombol sensitifku dengan tepat. Tahu betul cara mana yang paling akurat untuk melawanku tanpa perlu khawatir aku akan melawannya balik.
"Kirimanku sudah sampai? Bagaimana? Hasil jepretan orang-orangku tidak mengecewakan, bukan? Jujur saja, aku membayar mereka dengan nominal yang tidak sedikit." Senyum sumringahnya membuatku muak. "Jadi aku harap kamu puas dengan hasilnya."
Tara semakin kurang ajar. Dia pikir aku akan diam saja melihatnya semakin tidak waras memamerkan bahan ancamannya padaku? Dia pikir aku akan tetap pasrah mengikuti semua permainannya yang sudah kelewatan itu? Dia salah kalau berpikir aku akan tetap mengalah, membiarkannya tetap di atas angin. Dia salah. Sangat salah.
Saat aku bilang Tara sudah kelewatan dan aku tidak akan diam saja, itu berarti aku akan mengerahkan segala cara untuk melawannya. Tidak peduli siapa saja yang ada di belakangnya sebagai sokongan.
"His name's Raka," ucapku sambil mengeluarkan beberapa lembar foto yang dimaksud Tara sebagai kiriman darinya, lalu menyimpannya di atas meja. Isinya masih sama, potret Raka. Namun di hari dan tempat yang berbeda dengan foto sebelumnya. "Kamu jelas sudah mengetahuinya. Saya yakin data yang kamu kumpulkan selama ini lengkap dan akurat, saya tidak akan meragukan itu."
Aku melihat Tara menyernyitkan dahinya. Terlihat tidak begitu peduli dengan apa yang barusan aku katakan.
"Sembilan tahun yang lalu, kami menemukan Raka. Dalam kondisi yang hampir sama dengan kondisi anak-anak lain saat datang ke Semi. Hanya terbalut selimut kain tipis di dalam keranjang rotan, tanpa identitas sama sekali. Bayi merah yang saya yakin baru dilahirkan kurang dari satu minggu itu disimpan di depan pintu dalam keadaan demam dan kekurangan cairan. Dehidrasi parah."
Tara berdecak. "Apa yang sedang coba kamu katakan, Kinanti?"
Aku menatap salah satu foto Raka di atas meja. "Tidak ada. Saya hanya sedang mengenang betapa menakjubkannya dia saat itu. Bayi merah yang bertahan meski dunia tidak menginginkannya. Kamu pernah merasakan hal itu, Tarasha? Bertahan meski dunia sama sekali tidak berpihak padamu?"
Aku memperhatikannya hanya untuk melihat sorot tidak suka yang wanita itu layangkan.
"Raka pernah. Dan saat ini dia dipaksa untuk melakukannya sekali lagi." Aku memberi Tara senyum datar. "Tapi saya tidak akan membiarkannya, tidak selama saya masih ada dan mampu."