Kinanti Laudyara adalah seorang PA profesional. Jasanya sudah terdengar hingga ke selesar istana para konglomerat tanah air maupun mancanegara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia sudah pernah bekerja pada belasan keluarga old-money yang tersebar di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku menatap layar ponsel dengan pelindung berwarna biru cerah itu dalam-dalam. Masih tidak habis pikir dengan apa yang sedang aku lihat saat ini. Aku kehabisan kata-kata. Tara benar-benar sudah keterlaluan. Ini merupakan langkah terjauh yang pernah dia ambil ketika kami berselisih paham.
Satu ketukan jariku menekan layar ponsel, berharap akun dengan pengikut lebih dari 80 ribu orang itu menandai sosok lain yang sedang satu frame dalam unggahannya. Tapi nihil. Pemilik akun resmi itu tidak menandai siapapun. Tara jelas tidak menandai foto punggung telanjang seorang pria yang sedang memeluknya itu dengan nama akun lain.
Mengunggah foto explisitnya dengan pria lain di media sosial? Aku menggeleng. Dua minggu dia menghilang tanpa kabar hanya untuk membuat lelucon semacam ini? Aku tertawa miris. Tara berhasil. Dia berhasil membuatku menertawakan perasaan konyol ini untuknya. Menyedihkan. Dia anggap aku apa? Budak gengsinya?
"Kamu terlihat seperti baru saja dikhianati, brother. Kenapa? Bukannya sudah biasa seperti ini?" Rash mengambil kembali ponselnya dengan santai seolah aksinya 'mengadukan' perbuatan Tara padaku barusan bukanlah apa-apa.
Ya, memang bukan apa-apa sebenarnya, kalau saja Tara tidak mengunggah foto semacam itu ke media sosial dan menulis keterangan romantis seolah-olah pria asing itu satu-satunya.
"Tara sudah keterlauan. Bukan seperti ini kesepakatan kami."
"Kalian bahkan memiliki kesepakatan?" Rash terdengar tidak menyangka. "Ck, ck, ck, ternyata Var benar."
Kami berdua memiliki kesepakatan, benar. Bahwa masing-masing dari kami bebas memiliki hubungan semalam dengan orang lain. Bahwa kami bebas berhubungan dengan siapapun dan kapanpun kami mau. Tapi dengan beberapa syarat berlaku; jangan melibatkan perasaan, harus saling terbuka, dan tetap memprioritaskan satu sama lain.
Ya, aku tahu. Fucked up. Aku juga merasa demikian saat pertama kali Tara mengajukan kesepakatan sialan itu beberapa tahun yang lalu. Dan dengan sialannya lagi aku menyetujuinya begitu saja saat itu. Hanya karena dalih hubungan semacam itu adalah keinginannya, hubungan yang tidak mengekang adalah kenyamanannya.
Dan pada akhirnya aku menyerah, menurutinya. Membiarkan hubungan kami dibangun atas dasar kenyamanan Tara. Hingga kini. Aku bahkan mengusahakan kenyamanan-kenyamanan lain hanya untuknya. Menolak titah Kakek adalah salah satunya. Rencana dengan Rash yang gagalpun akan aku usahakan kembali kalau semuanya tidak berakhir menjadi seperti ini.
"Jadi setelah ini, pada akhirnya kamu akan menerima keputusan Kakek, kan?"
Aku menatap Rash malas. "Tidak semudah itu, Arashati Hanggara. Aku tidak menolak keputusan Kakek hanya berdasarkan satu pertimbangan."
"Buat semuanya semudah itu, Hanggara Nareno. Pertimbangan terbesarmu adalah Tara, it's true. Jangan menyangkalnya. Tapi setelah ini?" Rash menggeleng. "Jalanmu kosong."
"Aku tidak tertarik mendiskusikan ini lagi, Rash. Semuanya berhenti saat aku bilang 'tidak akan' pada keputusan Kakek. Mau selenggang apapun jalanku saat ini."