Kinanti Laudyara adalah seorang PA profesional. Jasanya sudah terdengar hingga ke selesar istana para konglomerat tanah air maupun mancanegara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia sudah pernah bekerja pada belasan keluarga old-money yang tersebar di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Masih jam tujuh kurang, Bu. Sudah Sarapan?"
Hilma selalu bertanya demikian kalau aku tiba di rumah Naren kurang dari jam tujuh. Ia selalu menawariku dibuatkan sarapan oleh salah satu juru masak di rumah ini sebelum Naren turun. Mungkin ia pikir karena aku memulai aktivitas sepagi ini, aku akan melewatkan sarapan.
"Bu Marini berniat masak nasi goreng Aceh untuk Tuan Muda, mau sekalian dibuatkan, Bu? Di kulkas juga banyak bahan masakan kalua Ibu mau yang lan," tawarnya lagi sambil mengulurkan secangkir teh hangat yang biasa aku pesan selagi menunggu Naren bangun dari tidur cantiknya.
It's true. Naren terlihat lebih cantik saat terlelap. Bibir penuh dan sedikit berwarna miliknya selalu terlihat sedikit menyunggingkan senyuman saat menutup mata. Entah gaya tidurnya memang seperti itu sejak lahir atau ia hanya sedang pura-pura ketika sedang bersamaku. Bisa saja ia sadar aku diam-diam memperhatikannya, kan?
"Atau Ibu mau yang lebih ringan? Roti isi?"
Hilma selalu menawariku berbagai macam hidangan pagi mulai dari yang ringan hingga berat. Meski seringnya aku menolak karena sudah terbiasa sarapan di rumah, ia tidak pernah bosan menawarkan. Sikapnya terkadang membuatku merasa kami bukanlah sesama pekerja untuk Hanggara.
"Saya sudah sarapan, Hilma." Kedua tanganku mengangkat cangkir ke udara. "Tapi terima kasih tehnya."
Hilma berlalu menuju dapur sebelum kemudian kembali lagi dengan piring berisi pastel di tangannya.
"Dua hari yang lalu ada mobil box mengantar dua barang seperti lukisan, Bu," katanya. "Saat itu Tuan Muda sedang buru-buru, jadi ia hanya bilang kalau mereka bisa menyimpan barang itu di kamar tamu dulu. Beliau juga berpesan pada saya kalau nantinya barang itu akan ia simpan di kamar pribadi beliau, tapi tunggu intruksi darinya dulu. Jangan sembarangan di pindah."
"Lukisan?"
Hilma mengangguk. "Sepertinya. Atau bingkai foto, saya tidak tahu pasti soalnya barang-barang itu terbungkus rapi dan bentuknya mengingatkan saya dengan lukisan di depan tapi dengan ukuran yang lebih kecil."
Aku mengangguk dua kali. Bisa jadi itu memang lukisan, Naren adalah salah satu orang kaya yang menjadikan koleksi lukisan antik dan mahal itu sebagai hobi.
"Bisa jadi itu memang lukisan. Beliau tidak habis membeli bingkai foto atau semacamnya."
Mengingat beberapa waktu lalu kami mendatangi pameran Mallura, rasanya lukisan lebih terdengar masuk akal daripada bingkai foto. Meski itu sedikit membuatku bingung, pasalnya Naren tidak mengatakan apa-apa padaku tentang benda-benda tersebut. Biasanya hal pribadi apapun yang ia inginkan selalu melalui perantaraku.
"Itu yang saya takutkan. Tuan Muda sangat apik terhadap lukisan-lukisannya, saya takut barang itu rusak kalau di simpan sembarangan di tempat yang sering disinggahi pekerja. Saya khawatir ada ketidaksengajaan yang tidak diinginkan."