22. Dinda pergi

6.5K 500 6
                                    


_

Pagi kembali tiba. Hawa yang beda Agam rasakan pagi ini. Biasanya pagi ketika membuka mata pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Dinda ketika membangunkannya dari tidur.

Namun, mengingat permasalahan yang sedang terjadi Agam tidak mau berlarut-larut dalam sedihnya karena bagaimanapun kemarahan Agam sampai saat ini belum reda. Agam segera bangkit dari kasur dan mulai bersiap-siap. Tetapi tatap saja pria itu teringat Dinda. Biasanya saat hendak mandi air hangat sudah siap. Bahkan pakaian juga sudah ada di pinggir kasur, tetapi pagi ini tidak ada.

Agam menghembuskan napasnya kasar dan menyiapkan semuanya sendiri. Selang dua puluh menit pria itu sudah siap dan mulai menuruni tangga. Seperti biasa di meja makan sudah ada kehadiran ibu dan anaknya.

"Pagi, Sayang," sapa Agam sembari mencium pipi putranya Albi.

Tak dapat jawaban. Bahkan wajah Albi tetap datar dan tak mengulas senyum seperti sebelum-sebelumnya. Nampaknya anak itu benar-benar kecewa pada ayahnya.

"Albi pulang sekolah nanti mau, Nenek aja yang jemput." Suara tegas bocah kecil itu membuat Yunita dan Agam hanya bisa saling tatap.

"Baiklah, ayah tidak akan memaksamu," jawab Agam dan mulai meraih piring serta lauk-pauk yang sudah tersedia.

Baru saja satu suap makanan masuk ke dalam mulut Agam, kunyahan sudah ia hentikan karena merasa terkejut dengan rasa makanan pagi ini. Agam menoleh cepat pada ibunya yang juga sedang memperhatikan dirinya.

Agam hendak berkomentar, tetapi mengingat permasalahan yang belum reda membuat Agam mengurungkan niatnya dan kembali menikmati sarapannya.

Selepas sarapan Albi langsung berjalan duluan memasuki mobil tanpa mengucapkan kata pamit pada Yunita seperti yang sering ia lakukan tiap paginya. Agam yang melihatnya sontak merasa marah akan kelakuan anaknya.

"Albi!" tegur Agam. Albi tetap tak menghiraukan dan masuk ke dalam mobil setelah membanting kuat pintunya. Yunita pun tetap memasang wajah datar hingga membuat Agam pusing sendiri akan perilaku ibu dan anaknya.

"Dia juga kecewa pada ibu dan itu wajar." Yunita berucap.

"Aku belum bisa membawanya kembali, Ibu," jawab Agam dan langsung ikut menyusul Albi.

* * *

Perjalanan hanya terjadi keheningan. Albi pun memilih duduk di kursi belakang. Sungguh merasa enggan ia berdekatan dengan sang ayah yang tega mengusir bundanya seperti ini. Albi benar-benar tidak habis pikir dengan sikap ayahnya.

Albi menatap keluar jendela sementara Agam hanya bisa memperhatikan anaknya dari spion mobilnya. Agam tentunya merasa tak tega melihat kesedihan anaknya seperti itu, tetapi apalah daya keegoisan karena terbakar amarah membuat Agam tidak bisa mengalah saat ini.

"Bunda, Albi kangen," lirih Albi pelan. Bahkan suara anak itu sangat kecil seakan takut akan didengar oleh ayahnya. Namun, percuma itu sudah sampai di telinga Agam. Hati Agam semakin sakit saja melihat anaknya sehancur itu.

Mobil sudah berhenti dan sama seperti tadi Albi tak mengucapkan apapun dan hendak langsung keluar mobil, tetapi pintu sudah terlebih dahulu Agam kunci.

"Buka pintunya, Ayah!" bentak Albi kesal.

"Albi maafkan, ayah," ucap Agam. Albi tak menjawab dan malah memalingkan wajahnya.

"Tapi untuk sekarang, ayah belum bisa membawa bunda kamu kembali," sambung Agam. Mendengar itu air mata Albi yang sedari tadi ia tahan kini lolos.

"Ayah memang gak sayang, Albi. Ayah gak pernah mau ngertiin, Albi--"

"Bukan seperti itu, Sayang. Ayah sayang sama kamu maka dari itu ayah marah pada bunda kamu karena telah lalai dalam menjagamu," jelas Agam.

Duda menyebalkan(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang