Bab 22

11.4K 981 8
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Aku tidak ingin kembali lagi ke kubangan masa lalu, yang dulu sempat membuatku terpuruk akan kenangan itu."

∆∆∆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

∆∆∆

Bagian tersulit dalam hidup, saat kita menentukan keputusan yang penting, untuk masa depan yang panjang. Terkadang, masih ragu, akan tetapi, kalau tidak disegerakan, juga tidak baik untuk kedepannya.

Tarikan nafas panjang aku lakukan, lantas menghembuskannya pelan. Mungkin, inilah jalan yang aku ambil, Allah sudah memberikan sosok lelaki dalam hidupku. Yang akan menyempurnakan Agamaku, Insya Allah.

"Bagaimana Nak Fiya? Apakah Nak Fiya menerima khitbah Nak Mizan, setelah dua minggu waktu yang Nak Fiya minta untuk memberikan sebuah jawaban." Pertanyaan dari Om Adit-Ayah dari Pak Mizan membuyarkan lamunanku.

Kepalaku mendongak menatap Kak Naura, lantas menoleh menatap Abi dan Umi. Mereka semua mengangguk, seakan memberikanku kesempatan untuk menjawab.

"Bismillah, aku terima khitbah dari Pak Mizan," jawabku, lantas bisa ku dengar suara hamdallah memasuki indera pendengarku.

"Alhamdulillah, baik, kita tentukan tanggal pernikahannya bagaimana Pak Adam?" tanya Om Adit pada Abi yang turut tersenyum menatapku.

"Iya Pak Adit, saya ikut Adek saja, kan yang mau nikah dia, bukan saya," guraunya, membuat semua orang tertawa.

Suasana tegang tadi, sekarang lebih mencair, karena gurauan dari Abi.

"Sebentar Ayah, saya mau bertanya pada Chafiya dulu," sela Pak Mizan sembari menatapku.

Degupan jantungku berpacu dengan cepat, suasana kembali hening, dan bisa aku rasakan, hawa tak enak dari pertanyaan yang akan diajukan oleh Pak Mizan.

"Boleh saya tau, apakah kamu pernah mencintai lelaki lain?"

Deg

Aku langsung bungkam seketika saat pertanyaan dari Pak Mizan meluncur bebas kepermukaan. Sontak, Kak Naura menggeleng saat air mataku, hampir saja menetes dengan lancangnya.

Aku berusaha mengontrol perasaan berkecamuk dalam dada, saat bayang-bayang masa lalu hampir saja membuatku meneteskan kembali air mata.

"Jujur saja Chafiya, tidak apa-apa," ucapnya lagi. Netraku menoleh menatap Abi dan Umi.

Anggukan darinya, membuatku percaya akan menjawab dengan jujur, sebab aku tau, kebohongan yang akan menghancurkan segalanya.

"P-pernah Pak Mizan," lirihku pelan.

Suara tawa dari Pak Mizan membuatku mengerutkan kening dalam. Apanya yang lucu?

"Ekspresi kamu lucu sekali Chafiya, saya cuma bertanya saja," ujarnya masih dengan tawa yang sama.

Assalamu'alaikum Kekasih Impianku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang