『04』Jatuhnya Sang Hero

510 101 10
                                    

Hani mengembuskan napas panjang sambil menutup mata. Mencoba mengembalikan fokusnya yang hilang gara-gara keberadaan hantu anak kecil yang sejak tadi menganggunya. Tentu saja ia jadi tidak bisa berkonsentrasi pada tugas kuliah yang sedang dikerjakannya.

“Jangan ganggu dia!” Kedua matanya refleks terbuka saat mendengar suara seseorang berseru dari depannya.

Di sana, Noa berdiri sambil menatap tajam si hantu anak kecil sampai hantu itu pergi menjauh dari Hani. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya kemudian sambil mengambil posisi di sebelah Hani.

“Nggak apa-apa kok, dia nggak ngapain-ngapain saya cuma ganggu dikit.” Hani tersenyum tipis. “Urusan kamu sama temen kamu udah selesai?”

“Udah, mau berangkat sekarang?” Hani mengangguk. Kemudian gadis itu membereskan barang-barangnya. Biarlah nanti ia melanjutkan tugasnya di kos saja.

Satu jam setengah kemudian mereka sampai di depan rumah tingkat dua bercat tosca. Rumah itu milik keluarga Noa yang kini hanya ditinggali kakak dan ayahnya lantaran sang ibu tengah mendekam dibalik jeruji besi karena kasus yang menimpanya tahun lalu.

Hani turun lebih dulu dan menunggu Noa memarkirkan motornya sebelum masuk bersama-sama.

Rumah yang dulu selalu tampak hidup itu kini sepi seperti tak berpenghuni. Om Farhan—ayahnya Noa—pasti masih berada di tempat kerjanya. Sekarang masih pukul tiga, sedangkan jam kerjanya baru selesai pukul lima sore.

“Aku mau beres-beres dulu, kamu kalau mau langsung ke kamar Bang Yudhis nggak apa-apa.” Noa meletakkan tasnya ke atas sofa kemudian berlalu ke arah dapur.

Sementara Hani kini memandang lama pintu coklat berhiaskan stiker bendera Indonesia serta beberapa pemain sepak bola yang nggak Hani ketahui siapa namanya.

Setelah memantapkan hati, diketuknya pelan pintu itu. Namun, selang beberapa menit tetap tak ada jawaban. Hani lantas kembali mengetuknya, kali ini lebih kencang.

“Kak Yudhis?” panggilnya.

“Kak?” Masih tidak ada jawaban.

“Kak Yudhis saya masuk ya?” Pada akhirnya Hani memilih menerobos masuk tanpa persetujuan si pemilik kamar.

Begitu pintu terbuka, sosok Yudhis terlihat tengah berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam. Suasana kamarnya agak sedikit mencekam karena gelap tanpa penerangan lampu ataupun cahaya matahari sebab Yudhis menutup gorden jendelanya.

Dengan telaten Hani menyibak gorden dan membuka jendela agar udara segar bisa masuk dan menyapu aroma rokok yang tersebar ke segala penjuru kamar. Hani juga membereskan beberapa barang yang berserakan di sekitar tempat tidur.

Pergerakan Hani sepertinya sedikit menimbulkan bising hingga berhasil membangunkan Yudhis dari tidurnya dan lelaki itu kini sibuk mengucek mata sambil menguap lebar.

“Eh, Hani?” Ia bergumam setelah nyawanya sudah terkumpul.

“Kak Yudhis udah makan? Ini saya bawain ketoprak kesukaan Kak Yudhis.” Hani meraih kantong kresek yang tadi ia sematkan di gagang pintu.

“Kamu kapan nyampe?”

“Baru aja kok Kak.”

“Sama Noa?”

“Iya, tapi tadi dia lagi beres-beres di dapur.”

“Oh.” Yudhis hanya menjawab singkat. Sepertinya kehadiran Hani tidak cukup untuk membuatnya kembali bersemangat, Hani jadi sedih karenanya.

“Mau makan sekarang Kak? Biar saya ambilin piring sama sendoknya.”

“Nggak usah, taro aja di meja nanti aku makan.” Hani menurut.

Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang