『16』Bagian Dari Luka

194 50 42
                                    

Alasan Yudhis menolak keluar rumah setelah tragedi kecelakaan itu adalah karena Yudhis takut menghadapi dunia luar, ia takut mengahadapi satu-satunya kenyataan pahit yang menimpa hidupnya. Oleh karenanya Yudhis memilih untuk bersembunyi.

Namun, bukan berati Yudhis tidak pernah mencoba untuk melangkah maju. Pernah suatu hari ia bertekad untuk berubah karena berdiam diri tidak akan menghasilkan apapun, tapi begitu ia menyaksikan langsung orang-orang yang dulu menatapnya iba tiba-tiba berubah sinis, nyali Yudhis mendadak ciut.

Rupanya keluarga Yudhis sudah menjadi topik hangan obrolan para tetangga. Mereka sibuk menggunjing tentang ibu Yudhis yang ditangkap, tentang Yudhis yang mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan hingga menyebabkan dirinya tak bisa berjalan, tentang Noa yang kabur dari rumah dan gosip-gosip lainnya yang banyak dilebih-lebihkan.

Yudhis memang sempat tidak bisa berjalan, tapi setelah berbulan-bulan terapi ia akhirnya bisa kembali menggerakkan kedua kakinya meski tak bisa kembali seperti semula. Lalu Noa memang sempat kabur dari rumah beberapa hari—yang sampai sekarang Yudhis tidak tahu apa alasannya—tapi pada akhirnya Noa tetap pulang.

Pikir Yudhis dulu mungkin karena Noa sedang di usia berontak sehingga ia memilih kabur daripada menghadapi suasana rumah yang sudah tidak seperti rumah.

Lalu setelah percobaan pertamanya gagal, Yudhis memutuskan untuk menyerah. Dia jadi bertanya-tanya, apa gunanya juga dia berubah? Memang hidupnya akan kembali seperti dulu? Kan tidak.

Sejak saat itu Yudhis tak pernah lagi berpikir untuk mengubah hidupnya. Sampai suatu hari ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki nasib serupa, bahkan ada yang lebih menyedihkan darinya.

Berawal dari sebuah percakapan di forum media sosial, Yudhis akhirnya memberanikan diri menemui mereka-mereka yang tinggal di kota yang sama dengannya.

Awalnya Yudhis ragu, tapi setelah beberapa kali bertemu dan bertukar cakap langsung dengan mereka, untuk pertama kalinya sejak hari kecelakaan itu Yudhis menemukan orang-orang yang mengerti bagaimana penderitaannya selama ini.

Tanggapan yang Yudhis dapat bukan hanya sekadar ucapan basa-basi atau formalitas belaka, melainkan sebuah ucapan atas representasi dari luka yang sama-sama mereka alami meski bentuknya tak serupa.

Lambat laun Yudhis menganggap bahwa dirinya bagian dari mereka. Meski dari luar kebanyakan dari orang-orang yang ia temui itu tampak seperti penjahat atau buronan polisi, tapi Yudhis tidak berpikir seperti itu. Mereka hanyalah orang-orang yang terluka dan lelah mengahadapi dunia serta apa-apa saja yang ada di dalamnya.

Mereka adalah manusia-manusia yang merasa gagal dan kehilangan harapan untuk memperbaiki kembali sebab tak satupun jalan terbentang untuk dapat mereka lewati. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kegelapan yang seakan mengungkung dalam diam sembari menanti tiap-tiap jiwa rapuh itu tenggelam semakin dalam kepadanya.

Tinggal menghitung mundur saja kapan keraguan mereka akan hilang tergantikan keberanian untuk menyudahi semuanya dan pergi dari dunia yang kejam ini.

Yudhis sudah berada di tengah-tengah. Ia sudah memutuskan, tapi tekadnya belum bulat seratus persen. Masih ada secercah ragu yang ia sendiri bingung mengapa ia harus memilikinya dan yang semakin membuatnya tak mengerti adalah keraguan itu justru datangnya dari seorang perempuan yang eksistensinya seharusnya tak seberapa di hidup Yudhis.

Di antara ayahnya, Noa dan Hani, hanya perempuan itu yang terpikirkan oleh Yudhis. Satu-satunya orang yang mungkin akan merasa kehilangan jika ia pergi dan satu-satunya orang yang akan menangisinya berhari-hari.

Yudhis ingin pergi tanpa harus meninggalkan beban bagi siapapun orang-orang yang mengenalnya. Ia ingin pergi tanpa penyesalan. Setidaknya begitulah yang Yudhis pikirkan, tapi apakah dia bisa?

Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang