『15』Kapan Waktu yang Tepat?

185 49 26
                                    

Hani bersedekap sambil menatap Noa meminta penjelasan. Di depan mereka sudah terhidang dua mochi waffle rasa matcha yang masih utuh belum tersentuh. Hanya ada mereka berdua di sana, Gavin sudah pulang duluan setelah mendapat telepon darurat dari salah satu temannya.

“Jadi?” tanya Hani tak sabar ingin mendengar cerita Noa.

“Sebenernya aku gak pengen nyerita ini ke kamu.”

“Kenapa gitu?”

“Ya masa aku tiba-tiba cerita, 'Han aku abis ditolak cewek' kan gak banget!”

“Apanya yang gak banget? Memang kenapa kalau ditolak? Perempuan yang kamu suka pasti punya alasan kan kenapa dia nolak kamu?”

“Duh!” Noa meninju dahinya pelan. Sepertinya dia memang tak punya pilihan selain bicara jujur. Bodo amat dengan harga diri toh, ini hanya Hani. Dia bukan perempuan yang akan menertawakan masalah seperti ini.

Maka diraihnya smartphone yang tergeletak di atas meja lalu Noa membuka aplikasi instagram dan memperlihatkan potret Rulia bersama Gavin pada Hani.

“Namanya Rulia, temen sejurusanku dan ternyata dia juga mantannya Gavin.”

“Cantik,” ujar Hani spontan. Wajah perempuan bernama Rulia itu memang cantik bukan main, tapi itu bukan alasan Noa jatuh hati padanya.

“Kenapa Gavin bisa tahu kalau kamu suka sama dia?”

“Aku gak pernah ngasih tau dia, tapi waktu itu kita pernah papasan dan entah, mungkin dia nebak aja.”

“Kamu dari kapan suka sama dia? Kenapa nggak pernah cerita apa-apa sama saya?”

“Udah agak lama sebenernya, tapi karena awalnya aku nggak ada niat buat deketin dia jadi yaudah aku diem aja. Lia itu bukan cewek yang bisa dideketin sembarangan, auranya beda banget pokoknya.”

“Terus?”

“Walau awalnya emang aku gak niat buat deketin dia, tapi begitu ada kesempatan aku jadi lupa diri. Entah kenapa tiba-tiba aja rasanya aku punya keberanian buat menggapai dia, tapi ternyata dia udah punya pacar.”

“Jadi karena itu dia nolak kamu?” Noa mengangguk.

“Kamu masih suka sama dia?”

Honestly yeah, I still like her. Perasaan suka itu bukan sesuatu yang bisa kita hilangin dengan mudah, iya kan? Kamu pasti tahu itu lebih dari siapapun.”

“Ah, iya-juga,” Hani menaikkan kedua tangannya ke atas meja dan mengerjap pelan. Gara-gara perkataan Noa barusan dia jadi teringat soal Yudhis.

Omong-omong apa sekarang waktu yang tepat untuk menceritakan soal Yudhis juga? Rasanya tidak adil kan kalau Noa bercerita, sedangkan dirinya tidak. Ah, tapi Hani belum siap.

“Ehm ... Noa,” ujar Hani ragu-ragu, “sebenarnya ada yang mau saya ceritain juga, tapi nggak sekarang saya belum siap. Kalau saya minta waktu dulu nggak apa-apa?”

Kedua alis Noa bertaut bingung. “Soal apa?”

“Pokoknya ada lah. Nanti pasti bakal saya ceritain, janji!”

“Kamu nggak lagi kenapa-napa kan?”

“Nggak.”

“Gavindra nggak ngapa-ngapain kamu?”

“Nggak Noa.” Hani terkekeh pelan. “Kenapa jadi bawa-bawa Gavin?”

“Soalnya dia kan su—ah, nggak. Dia ngeselin maksudnya,” kata Noa segera tersadar. Hampir saja dia keceplosan dengan mengatakan perasaan Gavin pada Hani. Meski dia selalu sensi tiap kali bertemu Gavin, tapi bukan berati dia berhak memberitahu hal yang seharusnya dilakukan oleh Gavin sendiri.

Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang