『09』Kasmaran

341 65 19
                                    

Ada yang baru kenal langsung suka, ada yang bertahun-tahun sudah kenal baru suka, ada juga yang setelah kehilangan baru suka. Perasaan suka itu nggak ada hubungannya sama waktu. Hati bebas kapan saja dan kemana saja ia mau berlabuh sekalipun ternyata itu ke tempat yang tidak tepat.

Maka sebagai manusia kita tidak punya kuasa untuk mengendalikannya, yang bisa kita lakukan hanya menyeimbangkannya agar kelak rasa yang ditimbulkan oleh hati bisa berjalan beriringan dengan logika. Maka jika suatu waktu kita berada di fase yang membuat kita terpaksa harus berhenti, kita bisa berhenti tanpa perlu berlarut-larut dalam kekecewaan.

Gavin selalu percaya dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan pada hambanya. Ia yakin bahwa rencana Tuhan akan selalu lebih baik dari pada miliknya.

Pun dengan kegagalan Gavin mengejar sang pujaan hati sebelumnya pasti karena Tuhan tidak menghendakinya. Alhasil ketika ia menerimanya, Tuhan menghadirkan sosok lain untuknya.

Hani datang membawa angin baru. Membuat Gavin kembali merasakan getaran di hati manakala melihat wajahnya atau hanya dengan memikirkannya saja.

Bunga-bunga yang sempat layu itu kini kembali tumbuh dan mekar dengan cantiknya. Sekali lagi Gavin bisa merasakan indahnya jatuh cinta. Bahkan sampai membuat teman-temannya keheranan melihat tingkah lakunya.

“Dulu waktu naksir Sekar kayanya gue gak sampe senorak Gavin sih,” tutur Reno suatu hari ketika melihat Gavin senyum-senyum sendiri sambil bersenandung riang manakala jemarinya sibuk mengetik di layar ponsel. Sibuk bertukar pesan dengan Hani.

“Gue juga nggak sih Ren.” Abian menimpali sambil memasang wajah aneh. Perpaduan antara heran dan geli.

Surya malah terkekeh. “Yaudalah biarin aja, lagi kasmaran dia.”

“Geli sendiri gue liatnya. Mana mukanya ngeselin banget.” Abian mengangguk setuju dengan ucapan Reno.

Usai membalas pesan Hani, Gavin mengangkat kepalanya guna menatap temannya satu persatu. Kemudian ia berujar, “Dasar iri dengki, gak bisa apa ya lu pada liat temen sendiri bahagia?”

“Iri dengki pale lu!” Reno mendesis. “Sori sori aja ya, kita bertiga mah udah punya cewek, lupa di sini lu doang yang jomblo?”

“Elah, sombong amat. Gak inget lo kapan hari masih galau-galau soal Vina?”

“Jaman kapan itu bro?”

“Cih, semoga lo cepet putus sama Sekar biar entar pas gue jadian sama Hani gue bisa ngeledekin lo jomblo.” Gavin ketawa setan.

“Jangan gitu Vin, biasanya doa yang jelek-jelek bakal balik ke diri sendiri.”

“Oh, lo sekarang udah mihak Reno Sur? Oke aem pain.” Gavin menekuk wajahnya pura-pura kesal, tapi tiga detik kemudian wajahnya kembali ceria ketika melihat nama Hani muncul di notifikasi ponsel pintarnya.

“Bener-bener udah gak waras ni anak.” Reno bergidik ngeri.

“Bayangin entar kalau dia beneran jadian sama Hani pasti bakal lebih najisin sih.” Abian sama ngerinya membayangkan Gavin-Hani lovey dovey di depannya.

“Cukup ya wahai kaum-kaum julid. Gavindra Nanda lagi bahagia, jangan dirusak dong woy. Lagian tumbenan kalian gak kemana-mana. Lo gak ada rapat Bi? Lo juga gak nyamperin si Citra Sur? Terus elo Ren, punya apartemen bagus-bagus, hobi banget lo nongkrong dimari. Kaga sekalian aja lo pindah ngekos di sini?”

Pertanyaan bertubi-tubi Gavin tak mendapat respon sepadan dari teman-temannya yang tanpa komando langsung membubarkan diri seakan mereka tidak mendengar apa-apa.

Menyisakan Gavin yang hanya bisa berdecak sendirian di tempatnya.

“Aneh emang mereka,” guman Gavin tak sadar diri bahwa dirinya adalah yang paling aneh.

Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang