“Perut gue keram.”
“Gue gak bawa sarung.”
“Eh, bentar Bi dua menit lagi deh nanggung nih.”
Begitu respon Gavin, Reno dan Surya ketika Abian mengajak mereka untuk berangkat jumatan. Cuaca panas di luar sana tampaknya membuat mereka enggan untuk beranjak dari kos atau pada dasarnya mereka memang malas saja jumatan.
“Pantesan kemarin lo ketempelan Vin, ternyata di sini setannya banyak. Besok kayanya gue mesti panggilin pak ustad ke sini.”
Tertohok dengan perkataan sarkas Abian, Surya buru-buru ke kamar untuk ganti baju sementara Gavin berdehem pelan sembari melempar pandang pada Reno seolah sedang menyampaikan sesuatu lewat netranya.
Tak lama, Surya kembali setelah rapi mengenakan baju koko dan sarung. Kemudian ia melemparkan sarung lain ke arah Reno membuat pemuda itu mengerjap dan ragu-ragu melirik Abian yang sudah bersedekap di depannya.
“Iya ini gue berangkat.” Reno pasrah dan langsung menutup aplikasi game yang tadi dimainkannya lalu menyampirkan sarungnya di pundak. Padahal tanpa sarung pun sebenarnya dia masih bisa berangkat jumatan, cuma akal-akalan Reno saja sih supaya dia bisa mangkir.
“Vin lo nggak?” Atensi Abian beralih pada satu-satunya manusia yang masih betah di tempatnya. Malah kini ia memejamkan matanya pura-pura tertidur.
“Woy Gavin!” Abian menendang kaki cowok itu.
“Hng perut gue keram,” keluhnya. Siapapun bisa melihat kalau Gavin sedang berbohong.
“Yaudah kalau gak mau, yang penting gue udah ngingetin jadi dosa tanggung sendiri. Entar di akhirat lo pura-pura gak kenal gue ya, gue gak mau masuk neraka bareng lo.”
Seketika kedua mata Gavin terbelalak. Kalau Abian sudah mulai bawa-bawa akhirat atau semacamnya, ia jadi suka merinding sendiri. Maka dari itu pada akhirnya dia menyeret badannya menuju kamar mandi. Setelah cuci muka dan ganti baju ke yang lebih sopan—karena tadi Gavin hanya mengenakan kaos oblong dipadu kolor hitam kebanggaan.
“Bentar gue ngambil sendal dulu,” ucapnya. Gavin kapok memakai sendal bagus waktu Jumatan karena sudah dua kali hilang. Jadi, kali ini dia sudah menyiapkan sandal khusus—swalow biru yang dibelinya di toko kelontong dekat kos serta tulisan tangan sebagai mahakarya yang menghiasi sebagian muka sandalnya.
“Kreatif bener lu!” Reno terbahak begitu membaca tulisan di sandal milik Gavin, pun dengan Surya yang tidak bisa menahan kekehannya. Sementara Abian hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau heran, tapi ini Gavin.
“Keren kan sendal gue?” Gavin tersenyum jumawa sembari mengusap kilat hidungnya dengan ibu jari.
“Iya keren banget.” Surya tepuk tangan—masih dalam keadaan terkekeh.
“Dah ayo berangkat!” sela Abian menyudahi obrolan tak berbobot mereka.
⋆⋆⋆
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]
Ficción GeneralSejujurnya Gavin tidak pernah mempercayai hal-hal tahayul atau kisah-kisah mistis yang sering diceritakan orang-orang, tapi pertemuannya dengan gadis di sanggar tari malam itu membuat keyakinan Gavin goyah. Apa gadis yang dilihatnya malam itu manus...