“Gimana Han kemarin seru gak? Nyesel deh gue gak ikut. Gara-gara Kak Kevin nih!” Sekar menggerutu dengan wajah masam.
Siang itu, Sekar mengajak Hani dan Gavin ke bioskop sebagai bentuk permintaan maaf karena tidak jadi ikut ke acara SMA Gavin kemarin. Sebenarnya Hani tak mempermasalahkannya, tapi Sekar bersikeras ingin menebusnya—walau alasan sesungguhnya karena Sekar memang sedang ingin nonton saja sih, tidak sepenuhnya merasa bersakah. Itu hanya akal-akalannya saja agar Hani mau ikut.
“Seru kok, saya dikenalin juga ke adik-adik kelasnya Gavin.”
“Cantik-cantik gak adik kelasnya?”
“Cantik.”
“Wah, bahaya,” kata Sekar, tapi Hani tidak mengerti apa maksudnya.
Di menit berikutnya, cowok-cowok—alias Gavin dan Reno—datang membawa minuman dan popcorn di tangan masing-masing.
Reno meletakan wadah popcorn di kepala Sekar yang membuat perempuan itu seketika menabok lengannya sambil mengomel, sedangkan Gavin hanya menyodorkan satu minuman dingin pada Hani.
“Yuk, masuk.” Sekar menggandeng Hani dan melangkah duluan meninggalkan cowok-cowok.
“Han, gue penasaran sama sesuatu. Boleh nanya gak?” bisik Sekar ketika mereka sudah duduk bersisian dalam satu barisan. Reno duduk paling ujung disusul Sekar, Hani kemudian Gavin.
“Nanya apa?”
“Di tempat ini ada penunggunya gak?”
“Di sini?” Sekar mengangguk. Hani kemudian memandang sekeliling hingga tatapannya terhenti pada satu arah di ujung barisan sana.
“Mau saya kasih tau?” tanya Hani membuat Sekar seketika gelagapan. Melihat gelagat Hani, entah kenapa rasanya Sekar lebih baik tidak tahu saja atau dia akan jadi sangat parno dan berakhir memikirkan hal yang tidak-tidak yang membuatnya ketakutan sendiri.
“Hehe nggak jadi deh. Rasa penasaran kadang bisa jadi bumerang buat lo seharusnya gue inget kata-kata itu.”
Hani terkekeh. “Tenang aja, kamu aman kok. Sebenernya setiap tempat pasti punya penunggunya masing-masing, tapi asalkan kita nggak ganggu mereka dan nggak ngelakuin hal aneh-aneh, mereka juga nggak akan ngelirik kita. Apalagi kalau kita selalu inget Tuhan, dijamin deh mereka nggak akan berani ganggu.” Sekar ngangguk-angguk mendengar penjelasan Hani.
Ketika layar besar di depan sana mulai menyala dan film dimulai tak lama setelahnya, mereka kompak menyudahi konversasi dan fokus menonton. Kecuali Gavin yang sesekali masih mencuri pandang ke arah Hani sambil mengharapkan akan ada adegan pegangan tangan, tapi Hani ternyata lebih suka menaruh tangannya di atas paha lalu tubuhnya pun kini lebih ia condongkan ke arah Sekar karena Sekar sesekali berbisik mengomentari filmnya.
“Brengsek banget gak sih cowoknya?” bisik Sekar. Hani mengangguk.
“Gue sih mending cowok yang satunya,” bisiknya lagi setelah melihat sang second lead menjadi pelipur lara bagi perempuan pemeran utama.
“Berisik banget! Udah nonton aja, komennya diakhir.”Reno tahu-tahu memegang wajah Sekar dan menariknya agar lebih condong ke arahnya ketimbang Hani.
“Apaan sih Ren!”
“Jangan gangguin Hani, dia lagi asik nonton gitu masa malah kamu ajak ngobrol terus?” Sekar langsung bungkam mendengar Reno mendadak mengubah gaya bicaranya jadi aku-kamu. Walau Reno memang sering melakukannya di waktu-waktu tertentu, tetap saja selalu menimbulkan reaksi tak biasa bagi Sekar yang seolah bisa merasakan aliran darahnya berdesir.
“Bisaan banget emang lo Ren, pantes setelah ketemu lo moveon gue lancar jaya,” gumam Sekar beberapa menit setelahnya.
Reno menoleh. “Apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]
Ficção GeralSejujurnya Gavin tidak pernah mempercayai hal-hal tahayul atau kisah-kisah mistis yang sering diceritakan orang-orang, tapi pertemuannya dengan gadis di sanggar tari malam itu membuat keyakinan Gavin goyah. Apa gadis yang dilihatnya malam itu manus...