Hani berdiri canggung di depan pintu kamar Yudhis yang masih tertutup rapat. Berkali-kali ia mengambil napas dan mengeluarkannya perlahan. Namun, debaran di dadanya tak kunjung mereda. Sebelah tangannya yang masih menempel di sana bahkan bisa merasakan dengan jelas bagaimana ritme jantungnya yang berdetak diluar batas normal.
Hani tidak ingat apa ia pernah segugup ini hanya untuk menemui Yudhis, yang mungkin masih terlelap di dalam sana. Masih berlabuh dalam mimpi dan bersenang-senang di sana.
Setelah memantapkan niat, tangan kanan Hani akhirnya meraih kenop pintu dan menariknya perlahan. Pertama-tama ia mengintip ke dalam, saat melihat Yudhis benar-benar masih tertidur barulah ia membuka pintu semakin lebar dan melangkah masuk.
Ditatapnya wajah damai Yudhis yang tertidur pulas. Hani lantas berjongkok di pinggir ranjang. Rasa-rasanya ia tak pernah memperhatikan wajah Yudhis dalam jarak sedekat ini.
Senyum Hani muncul seketika. Ia menopang wajah dengan sebelah tangan yang bertumpu di atas lutut. Tenang rasanya bisa melihat orang yang paling dia sayangi tampak baik-baik saja.
Yudhis itu tampan, dia punya senyum manis yang menyejukkan. Dulu saat masih sekolah, julukannya adalah healing smile. Hani mendengar itu dari obrolan teman-teman Yudhis ketika mereka berkunjung di akhir pekan sehabis tanding futsal dan berakhir makan-makan di rumah Yudhis.
Yudhis memiliki cukup banyak teman, entah itu laki-laki yang sesama pecinta bola atau perempuan yang diam-diam mengaguminya. Entah teman di dalam sekolah atau di luar sekolah atau pun teman-teman dari club sepak bola. Yudhis adalah anak sulung kebanggaan orang tuanya.
Noa dulu bahkan menggumi sosok kakaknya itu karena memiliki sifat bertolak belakang, Noa selalu iri setiap melihat bagaimana Yudhis berinteraksi dengan orang lain. Noa dulu ingin menjadi seperti Yudhis, walau kemudian dia menyerah karena merasa tidak mungkin. Yudhis terlalu bersinar untuk dia ikuti.
Meski sinarnya itu langsung padam dalam sekejap ketika kecelakaan merenggut semuanya dari Yudhis, dan tak lama setelah itu pula Noa berhenti mengagumi Yudhis.
Jika mengingat itu semua, Hani merasa teramat sedih. Ia ingin mengembalikan senyum kakak beradik itu, dia ingin membuat Yudhis kembali bersinar dan menjadi sosok kakak yang dikagumi Noa, tapi Hani bisa apa? Dia hanya perempuan lemah yang menyedihkan.
Andai ada hal yang bisa ia lakukan untuk mewujudkannya, dengan senang hati akan Hani lakukan apapun itu bentuknya. Sebesar itulah rasa sayang Hani pada Yudhis dan Noa.
“Kak, suatu hari saya ingin lihat Kak Yudhis tersenyum lagi kaya dulu,” gumam Hani yang entah sudah berapa lama tertegun dalam posisi yang sama.
Dia masih memandangi wajah Yudhis sampai kedua mata lelaki itu tiba-tiba terbuka dan langsung bertemu dengan miliknya. Sontak Hani melotot kaget. Ia bahkan tak sadar sudah menahan napasnya refleks.
“Hani?” gumam Yudhis parau. “Kamu kapan ke sini?”
“Ah itu ... baru aja kok, saya baru aja nyampe, belum ada semenit,” jawab Hani gelagapan. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Sementara itu Yudhis malah menatap Hani dalam diam. Ia pikir setelah kejadian waktu itu, Hani tak akan kembali lagi ke sini, ia pikir ia sudah berhasil membuat sedikit jarak dengan Hani karena setelah ciuman itu Hani langsung pulang dan tak pernah datang lagi ke rumahnya selama empat hari berturut-turut. Hani juga tidak mengirimnya pesan.
Namun dugaan Yudhis salah besar. Kini ia malah menemukan perempuan itu diam-diam menatapnya yang sedang tertidur.
Haruskah Yudhis melanjutkan sandiwara ini? Pura-pura menerima Hani lalu mencampakkannya dengan kejam agar Hani menyesal dan membencinya seumur hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]
Ficțiune generalăSejujurnya Gavin tidak pernah mempercayai hal-hal tahayul atau kisah-kisah mistis yang sering diceritakan orang-orang, tapi pertemuannya dengan gadis di sanggar tari malam itu membuat keyakinan Gavin goyah. Apa gadis yang dilihatnya malam itu manus...