Setelah seharian hibernasi usai pendakian ke Gunung Salak, Gavin dan teman-temannya kembali begadang. Berkumpul tengah malam sambil bermain kartu. Dimulai dari main capsa, 24 sampai main uno. Yang kalah gak nanggung-nanggung akan diberikan hukuman.
“Kalian tau gak, katanya dulu ada mahasiswa yang pernah meninggal di sanggar tari fakultas seni budaya.” Surya memulai percakapan baru disela-sela permainan kartu mereka.
“Meninggal kenapa?” Reno tampak sedikit tertarik.
“Gantung diri pake selendang. Ada yang bilang bunuh diri, ada juga yang bilang sengaja dibunuh.”
“Anjir serius?” Gavin memekik kaget.
“Gak tau juga, gue dikasih tau temen gue yang anak tari.”
“Kapan tuh? kok gue nggak tau?”
“Udah lama banget Vin, enam apa tujuh tahun yang lalu gitu.” Gavin ngangguk-ngangguk. Ia sama sekali tidak pernah mendengar cerita tersebut sebelumnya. Ia hanya pernah mendengar kisah horor di gedung PKM-U yang katanya ada penghuni gaibnya.
“Eh, ini terakhir ya? Gue udah ngantuk banget.” Abian tiba-tiba menyela lalu meneguk habis sisa air putih di gelasnya.
“Elah Bi, lo kan baru bangun magrib tadi.”
“Ya lo kata ini udah jam berapa anjir? jam satu cuy!”
“Yaudah deh iya ini yang terakhir, tapi hukumannya naik level ya biar seru!” Ketiga teman Gavin yang ada di sekelilingnya kompak menoleh. Penasaran akan ide Gavin yang biasanya nggak akan ada beres.
“Denger cerita Surya gue jadi punya ide, gimana kalau yang kalah harus foto depan sanggar tari yang di fakultas seni? Siapa tau ketemu arwah mahasiswa yang katanya bunuh diri itu.” Gavin tersenyum jahil sementara yang lain melotot tak terima.
“Gah gue!” Abian yang pertama menolak.
“Males banget Vin harus ke kampus malem-malem.” Reno ikut menolak.
“Cupu banget kalian, masa gitu aja takut.” Gavin mengompori hingga pada akhirnya mereka setuju meski terpaksa. Permainan kemudian dilanjutkan.
“Kaga ada ijo kan lu, minum cepet!” Gavin menepuk pelan bahu Surya sambil memamerkan wajah tengil. Yang dimaksud minum di sini bukan minum beneran, melainkan mengambil satu kartu acak sebagaimana aturan permainan jika tidak memiliki kartu yang sama.
“Santuy gue masih ada ini.” Surya mengeluarkan kartu berwarna hitam dengan tanda plus empat—kartu yang bisa dikeluarkan kapanpun dan dalam kondisi apapun.
“Yah, punya gue keluar juga dong.” Abian ikut mengeluarkan kartu yang sama. “Uno!” katanya kemudian setelah sadar kartunya tinggal satu.
“Haha mampus lo Vin, sok soan sih jadi orang.” Reno yang selesai paling pertama hanya tertawa.
Sambil berdecak, Gavin mengambil delapan kartu dan membuat tumpukan kartu di tangannya semakin banyak, padahal tadi tinggal tiga lagi.
“Warna apa nih Bi?” tanya Surya dengan dua kartu di tangannya.
“Merah lah merah.”
“Mantep!” Surya mengeluarkan kartu sesuai yang diperintahkan Abian. “Tujuh merah, uno!”
“Yes, uno game!” Abian mengeluarkan kartu terakhirnya. Kini tersisa Gavin dan Surya.
“Ck, noh ganti warna jadi tujuh biru!”
Surya malah tersenyum lebar. “Thanks Vin, gue selesai!”
Gavin menganga. Tidak menyangka bahwa dirinya akan kalah setelah tadi menang dua kali berturut-turut. tiga detik kemudian ia merasakan bahunya ditepuk beberapa kali oleh teman-temannya yang sudah berdiri dan bersiap masuk ke kamar masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]
Genel KurguSejujurnya Gavin tidak pernah mempercayai hal-hal tahayul atau kisah-kisah mistis yang sering diceritakan orang-orang, tapi pertemuannya dengan gadis di sanggar tari malam itu membuat keyakinan Gavin goyah. Apa gadis yang dilihatnya malam itu manus...