“Sekolahmu bagus banget Gavin.” Hani menyeletuk sesampainya mereka di SMA Gavin. Perempuan itu terkagum-kagum menyaksikan setiap sudut sekolah yang sudah di dekor sedemikian rupa demi kepentingan acara.
Saat Hani mengambil langkah, kedua lelaki yang setia berdiri di samping kanan dan kirinya itu turut melangkahkan kaki yang sama.
“Kita mau kemana dulu? Atau langsung nonton Tulus?” Kepala kecil Hani menoleh pada Gavin.
“Tampilnya masih agak lama, kita keliling dulu aja gimana?”
“Wah, boleh!” Hani menjawab antusias. Wajah cerah yang penuh semangat milik Gavin dan Hani berbanding terbalik dengan wajah Noa yang terkesan kelam. Tidak ada ekspresi yang dibuatnya seakan keramaian di sekitar tak menggugahnya sama sekali. Padahal sejak tadi banyak siswi-siswi SMA yang hilir mudik tebar pesona.
“Cari minum dulu yuk? Tenggorokanku kering.”
Noa buru-buru membuntuti kedua menusia yang sudah melangkah lebih dulu darinya seakan mereka lupa bahwa Noa masih di sana. Ingin protes, tapi dia sudah lama tidak melihat wajah Hani secerah itu. Maka dia membiarkannya saja sambil mengembuskan napas kasar.
Ketika keduanya sibuk memilih minuman, Noa diam-diam memperhatikan. Pikirannya berkelana memikirkan beberapa skenario yang mungkin akan terjadi diantara Hani dan Gavin.
Noa sudah tahu sejak awal bahwa Gavin menyukai Hani. Semuanya tercetak jelas di wajah lelaki itu seolah Gavin memang tidak berniat untuk menyembunyikannya, tapi untuk Hani Noa tidak yakin. Noa tahu betul bagaimana perasaan Hani, walau setelah dipikirkan kembali rasanya memang lebih baik Hani menyukai orang lain saja.
Tapi, bisakah Hani berpaling pada orang lain dan menyudahi cinta bertepuk sebelah tangannya yang sudah menahun itu?
Ah, Noa salah. Sepertinya dia harus memperbaiki pertanyaannya. Bukan bisakah Hani, tapi maukah perempuan itu melakukannya?
Noa semakin larut dalam lamunannya ketika merasakan sensasi dingin di pipi kanannya yang membuat tubuhnya refleks terlonjak dan membuyarkan seluruh isi pikirannya.
Di depannya, Hani berdiri sembari menyodorkan segelas minuman dingin rasa matcha. Minuman yang sama dengan miliknya yang sudah diseruput sedikit hingga membuat permukaannya menyusut.
“Nggak nyangka ternyata selera minuman kita sama,” ujar Gavin. Noa menoleh dan ia baru sadar kalau Gavin juga membeli minuman yang sama dengannya dan Hani.
“Dulu sebenarnya saya nggak begitu suka matcha, tapi karena Kak Yudhis sama Noa sering beli minum rasa matcha, saya jadi ikut-ikutan suka.”
Gavin ngangguk-ngangguk sembari menikmati minumannya. “Keren, keren. Sekar sama Citra aku jejelin matcha kayanya bakal muntah-muntah.” Hani terkekeh kecil mendengarnya.
“Eh, kamu belum pernah ketemu Citra ya? Dia pacarnya Surya. Anaknya berisik banget sebelas dua belas kaya Sekar. Kamu kalau gabung sama mereka beneran paling beda deh. Kalem sendiri, suka matcha sendiri, sopan juga nggak kaya mereka yang kadang-kadang mendadak gak punya ahlak.” Ucapan Gavin membuat tawa Hani semakin menguar.
“Memangnya sebegitu jarangnya kah perempuan yang suka matcha?”
“Gak tau, tapi selain Lia aku cuma kenal kamu doang cewek yang suka matcha.”
Langkah Noa mendadak terhenti bersamaan dengan kepalanya yang menoleh cepat pada Gavin. “Lia?”
“Iya, Rulia mantan gue waktu SMA.” Sementara Gavin menyebut nama mantannya dengan santai, Noa terkejut di tempatnya. Mendadak ia ingat dimana dirinya pernah melihat Gavin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]
General FictionSejujurnya Gavin tidak pernah mempercayai hal-hal tahayul atau kisah-kisah mistis yang sering diceritakan orang-orang, tapi pertemuannya dengan gadis di sanggar tari malam itu membuat keyakinan Gavin goyah. Apa gadis yang dilihatnya malam itu manus...