Hani tidak sadar menahan napasnya sendiri ketika mendengar suara Yudhis mengudara lewat ponsel pintar Gavin. Ia butuh beberapa detik untuk meyakinkan diri bahwa yang didengarnya memang suara Yudhis. Suara seseorang yang begitu ia rindukan keberadaannya padahal belum ada 24 jam sejak terakhir kali dia melihat sosok itu.
“Kak Yudhis?” gumamnya setelah berhasil menguasai diri dan yakin bahwa kini dia sedang mengobrol dengan pria itu.
“Iya ini aku Han.” Suara Yudhis terdengar agak serak seperti orang yang habis menangis semalaman.
“Kondisi Kak Yudhis gimana?”
“Lumayan.” Hani tidak tahu lumayan yang dimaksud Yudhis adalah lumayan baik atau buruk, tapi ia memutuskan untuk tidak bertanya dan malah terdiam sembari meremas ponsel Gavin.
“Han aku mau minta maaf. Maaf buat semua yang udah aku lakuin ke kamu,” ucap Yudhis terdengar lirih, tapi Hani tidak menjawabnya dan malah memejamkan matanya sembari menggigit bibir kuat-kuat. Sejujurnya Hani tidak suka mendengar Yudhis mengawali obrolan mereka dengan kata maat, dia punya firasat buruk tentang itu.
“Dan aku juga mau minta maaf karena bahkan sampe detik ini aku nggak bisa bales perasaan kamu.”
Sekali lagi hati Hani bak diremas kuat. Terasa begitu menyakitkan. Meski sudah tahu bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan, Hani tetap sakit hati mendengar penolakan Yudhis untuk yang kesekian kalinya.
Bibir Hani mulai bergetar bersamaan dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Sementara hening mulai mengisi jeda diantara keduanya sampai air mata pertama Hani luruh dan membasahi pipinya meski sekuat tenaga sudah dia tahan agar tidak tumpah.
Di sampingnya, Gavin mengamati dalam diam. Secara garis besar Gavin sudah tahu apa yang sedang Yudhis bicarakan pada Hani. Tadi siang disaat Hani sedang bersiap-siap untuk tampil, Noa menghubunginya dan menjelaskan tentang kondisi Yudhis juga rencana yang akan mereka lakukan. Karena itulah seharian ini Gavin menemani Hani. Noa bilang Yudhis ingin bicara pada Hani, dan menyuruh Gavin untuk menghubungi mereka.
Meski yang Noa minta hanya sebatas untuk menghubunginya saja, tapi sejujurnya tidak mudah bagi Gavin karena itu artinya dia akan membiarkan Hani untuk merasakan pahitnya patah hati sekali lagi, dan jujur Gavin tidak tega melihatnya. Apalagi kalau Hani sudah menangis begini.
“Sekarang aku udah gak di Jakarta.” Ucapan Yudhis berikutnya berhasil membuat Hani melebarkan mata. Dia menoleh pada Gavin yang hanya bisa menatapnya penuh sesal karena tidak ada yang bisa dia perbuat untuk membantunya.
“Ma-maksudnya Kak?” tanya Hani tergagap-gagap.
“Aku mutusin buat menjalani perawatan di luar kota sekalian menenangkan diri. Papa yang ngusulin dan tadi kita langsung berangkat. Kamu nggak usah khawatir karena aku akan baik-baik aja.”
“Sampe kapan?” tanya Hani parau. Dia sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. “Nanti kakak bakal pulang lagi kan?”
Yudhis terdiam lama membuat firasat Hani semakin buruk.
“Aku nggak ada rencana buat kembali ke sana, kalau pun ada mungkin nggak dalam waktu dekat.” Tangis Hani mengeras. Apa ini artinya dia harus mengucapkan salam perpisahan pada cinta pertamanya? Hani belum siap.
“Han maafin aku. Aku nggak akan minta kamu buat ngelupain aku, tapi seenggaknya aku mau kamu bahagia Han, dan aku bukan kebahagian buat kamu karena sampe kapanpun aku nggak bakal bisa jadi sosok yang kamu inginkan.”
“Han maaf dan makasih buat semuanya.”
“Aku sayang sama Kak Yudhis,” gumam Hani di sela-sela tangisnya. Ia masih berharap Yudhis mau berubah pikiran. Ia belum siap untuk berpisah dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [𝙴𝙽𝙳]
Ficção GeralSejujurnya Gavin tidak pernah mempercayai hal-hal tahayul atau kisah-kisah mistis yang sering diceritakan orang-orang, tapi pertemuannya dengan gadis di sanggar tari malam itu membuat keyakinan Gavin goyah. Apa gadis yang dilihatnya malam itu manus...