01― payung kevin

70 13 14
                                    

Namanya Kevin.

Nama lengkapnya, Kevin Moon.

Laki-laki yang suka dikira suka laki-laki, hanya karena menjomblo sejak embrio. Aslinya mah laki-laki tulen. Yang masih suka diciduk sama Jacob, nonton film dewasa straight. Gapapa, kalo masih nafsu cewek mah, kata Jacob sambil ngintip dari pintu kamar.

Pemilik harta benda dari orangtua, membuat Kevin enggan dicap anak manja atau anak bundahara. Makanya, itu salah satu alasan dia buka kafe buat usaha sendiri, ya walaupun masih modal dari uang papihnya.

Kevin blasteran Jawa-Kanada. Wes medhok mas'e. Makanya dia jadi bingung, kalau ada orang yang tanya, Mas tuh blasteran surga, ya?

Yo, ndaklah. Ngawur!

Oh iya, jangan pernah ajak Kevin nonton bioskop atau film genre romantis, apalagi drakor! Karena kalau gitu, kalian harus siap sama hobinya yang ngomel-ngomel setiap ada adegan romantis. Aneh, gitu katanya. Kenapa sih si cowok cangkeme nek gombal, ndak leren-leren?!


Itu waktu nonton Dilan.

Kevin ngga tau aja, bakal ngalahin seorang Dilan, dengan maut gombalnya saat bertemu orang yang tepat.

――O1――

Tuk-Tuk!

Jari-jemari seseorang mengetuk meja. Aku sengaja dibuat terbangun. Lupakan soal mimpi apa, bisa-bisanya aku tidur di kafe sendirian.

"Misi mba, kafe sudah mau tutup," kata pemuda sang pramusaji. Duh, ganteng lagi. Mau teleportasi aja sekarang juga rasanya!

Oh, mas yang tadi, Eric.

"Eh, maaf saya ketiduran." Aku pun langsung memaksa mata ini terbuka dan merapikan semua barang yang berantakan di meja.

Sebelum pergi, sang pramusaji terkekeh. "Mba-nya kecapekan ya? Tadi habis selesai makan langsung tidur."

Aku terdiam.

Bukan.

Sepertinya bukan karena itu aku sampai bablas tidur.

Lalu aku beranjak dari kursi menuju meja kasir. Tentu untuk membayar.

Tetapi melihat sebuah gitar di atas kursi samping meja kasir, membuatku teringat sesuatu.

"Tagihannya 20 ribu ya, Mba." Aduh. Bahkan pegawai kasirnya lebih cantik dariku. Chanhee, name-tag yang tertulis.

Usai membayar dengan uang pas, aku mengambil langkah pada pintu utama. Hanya saja, hujan begitu nyaman jatuh sampai lupa istirahat. Langit malam kian gulita karena tanpa presensi bulan.

"Terlalu nekat kalo hujan-hujanan. Tapi terlalu ngga sabar buat nunggu reda." Nah, ribet ya.

Tiba-tiba sebuah payung terbuka di sampingku. Seolah siap menerka hujan, orang itu memberikan payung hijaunya padaku.

"Eh, maaf mas. Saya ngga pesen ojek payung," kataku pada cowok itu.

Ia langsung tersenyum canggung.
"Ma-maksudnya saya mau kasih payung ini buat kamu pake. Yakin, mau hujan-hujanan?" Karena suara kencang hujan, ia terpaksa sedikit berteriak.

Dan suaranya... familiar.

"Oh! Mas yang ngga sengaja saya tabrak itu, terus nyanyi di kafe ini?" tanyaku antusias.

"Untung gitar temen saya gak kenapa-napa," ucapnya membuatku jadi merasa bersalah.

Aku jadi tertawa canggung. Bahkan setelah salah mengira. "Saya kan, jadi ngira ojek payung. Gede banget lagi."

"A-apanya?"

"Payungnya lah."

"Ohh hehe." Tangannya yang masih menggenggam payung diberi lagi padaku. "Hujan kok ditunggu? Setia banget."

Dengan cetakan senyum pada bibir tipisnya. Membuat kedua pipi mengembang hingga menyipitkan mata.

"Payungnya jangan lupa dibalikin, biar besok bisa ketemu lagi."

Deretan gigi rapi nan kelinci itu terlihat. Semakin lancang aku ingin melihatnya, mataku diabetes.

Dan kakiku melemas. Seperti jelly.

[✔] 𝗪𝗵𝗲𝗻 𝗧𝗵𝗶𝘀 𝗥𝗮𝗶𝗻 𝗦𝘁𝗼𝗽𝘀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang