lost

229 14 0
                                    

Drrtt... drrttt... drrttt...

Suara dering telepon memecahkan kesunyian sore hari ini. Jalanan yang lengang terasa seperti daerah tak berpenghuni, belum lagi orang-orang yang tidak banyak keluar rumah. Mungkin karena langit gelap itu, yang memang sejak tadi memenuhi kota ini.

Drrtt.. drrtt.. drrtt...

Suara telepon itu berbunyi lagi, tapi tetap sama, tak ada jawaban. Gadis itu... gadis yang sejak tadi duduk dibangku taman itu terus menekan tombol telepon, mencoba lagi. Berharap kali ini akan diangkat, tapi...

Nihil. Sudah keenam kalinya dia menelpon, tak sekalipun ada jawaban. Ia mengusap surainya dengan sedikit kasar, bangkit dari kursi, berjalan mondar-mandir cemas.

'Kenapa tak diangkat?'batin gadis itu.

Pandangannya terus menatap layar ponsel, berharap ada telepon balik dari seseorang yang sedang ia tunggu itu. Sesekali ia mengalihkan tatapannya pada jalanan, menggigit jari, lalu kembali menatap ponselnya yang hening, tidak ada satupun notifikasi telepon atau pesan.

Kesiur angin bertiup cukup kencang bersamaan dengan tetesan air hujan yang mulai turun membasahi jalanan, beberapa orang yang terlihat sedang di luar, kembali masuk rumah atau berlarian mencari tempat untuk berteduh. Tapi tidak berlaku bagi gadis berambut coklat itu, ia masih tetap bertahan menunggu, meski tubuhnya kini sudah basah oleh hujan.

Kring... kringg...

Akhirnya... ponsel itu berbunyi, dengan sigap gadis itu mengangkatnya. Namun beberapa saat mimik wajahnya telah berubah, bukan.. bukan orang yang dia harapkan yang menelpon, melainkan orang lain.

"Sooya, kau dimana? Kau tau, aku sejak tadi mencarimu. Disini hujan, aku akan membeli payung terlebih dahulu, lalu pergi ke sana"

Gadis itu terdiam, tak menjawab. Ponselnya masih ia dekatkan ditelinga, tapi sepertinya dia tidak peduli sama sekali dengan apa yang diucapkan lawan bicaranya ditelepon.

"Hei.. Sooya? Apa kau mendengarku? Apa kau masih ada di sana? Kau ada dimana? Di taman? Atau di cafe?"

"Taman"balasnya singkat.

"Oke baiklah, tunggu aku. Aku akan segera kesana"

Jisoo.. gadis itu kembali termenung. Dadanya kini terasa sesak, wajahnya mulai memerah menahan tangis, dan tak lama air matanya pun jatuh menyatu dengan air hujan.

Tangisnya kini terdengar sangat memilukan, tubuhnya bergetar hebat. Ada apa sebenarnya dengan dia? Siapa orang yang sejak tadi ia coba telepon itu?

Sepi, hanya gemercik hujan yang kini menemaninya. Bahkan burung-burung pun tak ada yang keluar disaat seperti ini, menghentikan segala aktivitasnya dan kembali ke sarang. Jisoo, dia terus menangis tak peduli jika ada yang mendengarnya. Lagi pun tidak ada siapapun selain dirinya di taman itu.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depan Jisoo. Seorang perempuan keluar sembari membawa payung yang sebelumnya ia beli terlebih dulu. Dia adalah Jennie, teman baik Jisoo. Mereka sudah berteman hampir 5 tahun.

"Sooya? Apa yang kamu lakukan? Kenapa kau menangis disini? Apa yang terjadi?"tanya Jennie yang terkejut melihat temannya itu basah kuyup dengan mata bengkak dan wajah yang pucat pasi. Gadis itu tampak sangat mengkhawatirkan.

"Dia pergi..."balas Jisoo. Tak banyak yang ia katakan, karena ingatannya kini hanya tertuju pada seseorang yang sangat ia rindukan.

"Siapa? Suho? Pria br*ngs*k itu?"ujar Jennie kesal.

Jisoo kembali terisak-isak, otaknya terus memikirkan kemana perginya pria itu. Sudah hampir 2 minggu ini, Suho menghilang tanpa kabar. Padahal sebelumnya hubungan mereka berdua baik-baik saja, tak ada masalah, bahkan mereka sempat pergi berlibur bersama.

Jisoo sudah mencoba mencarinya, mulai dari rumah sampai kantor--tempat Suho bekerja. Tapi tak ada yang tau pria itu pergi. Tidak mungkin Suho meninggalkannya, memangnya apa salahnya? Kalaupun ia melakukan kesalahan, Jisoo bersedia untuk meminta maaf, asalkan Suho kembali kepadanya.

"Lupakan sejenak kemana dia pergi Sooya. Ayo kita pulang dulu, lihat dirimu, sangat berantakan, wajahmu pucat. Bagaimana kalau kau sakit?"
Jennie menarik tangan kanan Jisoo dan segera pergi dari taman. Tanpa perlu banyak bicara, Jisoo berdiri dan melangkah gontai mengikuti Jennie dan masuk ke dalam mobil.

*

*

*

*

"Minumlah"
Ujar Jennie menyerahkan secangkir teh hangat kepada Jisoo. Ya, mereka kini sudah berada di rumah Jennie. Sengaja gadis itu tidak langsung membawa Jisoo pulang, karena tahu nantinya Jisoo akan menangis lagi. Dan itu sungguh, membuatnya merasa khawatir.

Itulah Jisoo, jika sudah mencintai seorang pria, ia akan sulit melupakannya. Memang, semua orang pun begitu tapi tidak separah Jisoo, yang sampai ingin mengakhiri hidupnya demi seorang laki-laki brengsek. Jennie tak mau hal itu sampai terulang lagi sekarang. Sudah cukup masa-masa buruk Jisoo, waktunya dia berusaha mengikhlaskan semuanya yang memang sudah bukan miliknya lagi.

"Jen..."ucap Jisoo dengan suaranya yang masih serak karena menangis tadi.

"Iya, Sooya?"

"Apa sebaiknya aku--"
Belum selesai Jisoo bicara, Jennie sudah memotong dan menatap tajam ke arah Jisoo. Seakan mengerti apa yang akan diucapkan temannya itu.

"Cukup"ujar Jennie,"aku tak mau mendengar kalimat itu lagi. Kau harus kuat, Sooya. Kau bisa bangkit dari semua ini, jangan pernah menyia-nyiakan hidupmu hanya karena seseorang yang tak punya hati"

"Masih banyak orang yang sayang padamu Sooya...keluargamu, aku, Lisa, Chaeyoung, dan teman-teman lainnya. Kau tidak akan menyia-nyiakan hidupmu lagi 'kan?"

Jisoo mengangguk,"Aku mengerti maksudmu, Jenn. Tapi bukan itu yang ingin kukatakan, aku hanya akan bilang kalau sebaiknya aku pergi mandi..."

Mengetahui hal itu, seketika Jennie terdiam kikuk. Ternyata apa yang dipikirkan Jennie itu salah besar, ia berpikir bahwa Jisoo akan berbicara soal bunuh diri lagi.

"Kau tak perlu khawatir, aku tidak akan berpikir seperti itu lagi. Karena sekarang aku akan pergi mencari Suho"

"Kau gila? Memangnya kau akan mencari kemana? Dunia ini luas Sooyaa, belum lagi pria itu tidak memberitahumu pergi kemana"

"Aku hanya akan menebak sesuai dengan apa yang aku tau. Suho selalu bercerita kalau ia ingin mengunjungi beberapa tempat"

"Kupikir itu ide buruk Sooya, kau tidak bisa begitu saja mencari dia"balas Jennie lagi, masih tidak setuju dengan keputusan Jisoo. Pria itu pasti sering mengatakan omong kosong kepada Jisoo, kenapa juga Jisoo harus mempercayainya. Apalagi sekarang dia ingin menyusul Suho, tanpa tujuan yang jelas. Ohh sungguh, itu ide yang sangat sangat buruk.

"Bagaimana jika Suho tidak mau menemuimu lagi?"tanya Jennie, mencoba membujuk temannya.

"Tak apa, aku mencarinya hanya untuk memastikan hubungan. Apa dia ingin lanjut atau tidak?"

Jennie menghela nafas kecil. Dengan caranya menghilang begitu saja, bukankah sudah jelas kalau Suho ingin berpisah dengan Sooya? Jennie tak habis pikir dengan teman satunya ini, antara bodoh atau cinta.

"Dia pasti punya alasan sendiri, Jen. Aku yakin... dan apapun alasannya, aku akan menerimanya"

Tak ada yang bisa menghalangi niat gadis itu, jika tekadnya sudah bulat, Jisoo tidak akan mendengarkan ucapan siapapun. Dia memang sedikit keras kepala, tapi meski begitu hatinya sangatlah lembut. Itulah alasannya mengapa Jennie masih setia berteman dengan Jisoo.

"Baiklah jika itu maumu, Sooya. Aku sudah tidak bisa menahanmu lagi, aku hanya berharap kau sudah siap mengikhlaskan semuanya, khususnya melepaskan Suho"

"Akan aku pikirkan itu nanti-nanti, karena mengikhlaskan seseorang tak semudah membalikan telapak tangan. Semua butuh waktu..."

"Kau benar, tapi setidaknya kau sudah bersiap atas semua kemungkinan yang terjadi"

"Tentu saja, Jenn.."sembari melangkah ke kamar mandi. Jennie yang saat itu sedang menyesap kopi hanya bisa pasrah dan berharap bahwa Jisoo benar-benar bisa melepaskan Suho.

LabirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang