3

312 67 11
                                    

Yeri tersenyum menatap rumah yang terlihat tenang. Rumah lama yang ia tinggalkan beberapa waktu yang lalu. Lebih tepatnya rumah yang ia tinggalkan saat memasuki kuliah. Kemungkinan saat semester tiga, keluarganya pindah ke tempat kakeknya. Ayah dari mama tercinta. Lalu saat kakeknya meninggal, rumah itu ditinggali oleh keluarga Atmaja.

"Dimakan, dek," ujar Wendy. Ia sudah membuka kertas pembungkus burger lalu mulai memakannya.

"Eum," sahut Yeri sekedarnya. Ia masih sibuk menatap rumah itu. KEnangan saat ia masih tinggal di sana, setiap akan berangkat sekolah atau pulang sekolah selalu ada yang menunggu. Kenangan bagaimana ia dan cinta monyetnya itu saling memberikan perhatian lebih. Semua itu kenangan yang indah bagi Yeri.

"Dek."

"Apa sih kak?"

"Kamu punya kontaknya Nathan?"

"Untuk apa," kesal Yeri. "Dia menyebalkan. Meninggalkanku begitu saja dan tak pernah menghubungiku."

"Kalau begitu, move on dek. Jangan terpaku pada masa lalu terus. Nathan bukan yang terbaik untuk kamu. Begitu juga kamu bukan pasangan yang baik untuk Nathan. Anggap hubungan kalian hanyalah hubungan anak kecil sesaat. Jangan dibawa serius sampai sekarang."

"Aku kesal. Tapi aku tak bisa membencinya. Aku marah tapi aku tak bisa menghilangkan nama atau kenangan dia dari ingatan. Satu-satunya cara aku bisa melanjutkan hidup adalah terus menerus bekerja, mengerjakan misi dan membuat otakku sibuk. Saat ini aku sedikit luang. Minggu depan aku kembali turun ke lapangan. Jadi tak ada waktu untuk memikirkan dia lagi. Cuma minggu ini aja kak."

Wendy akhirnya mengangguk. Ia tak bisa lagi mendebat sang adik. Ia cukup diam dan berusaha untuk selalu ada demi adiknya. Ia tak akan berbicara lebih jauh atau lebih banyak lagi. Fokusnya adalah menghabiskan burger lalu kembali mengemudikan mobil agar mobil kembali melaju membawanya pulang ke rumah yang kini mereka tempati.

*OUR LOVE MAZE*

Yoga memainkan game yang ada di ponsel. Ia sedang berbaring di tempat tidur Miko yang kosong. Dari tempat tidur Miko, ia melirik ke seberang bagian atas. Tepatnya, di atas tempat tidurnya. Ada Nathan yang terlihat melamun. Apa sahabatnya itu kebanyakan hutang? Kenapa pandangannya kosong saat libur tiba?

"Ada masalah, Than?" Tanya Yoga tanpa basa-basi. Meski bertanya pada Nathan, Yoga masih fokus memainkan gamenya. "Sialan Fany darat," umpat Yoga.

"Tidak ada masalah," jawab Nathan singkat.

"Si beg*. Ah, satu tim sama tukang troll nyebelin banget sih ya! Udah tau aku pake Miya. Malah ditinggal sendirian."

Adnan Jaelani atau yang sering disapa Jae otomatis tertawa sampai tempat tidur susun yang saat ini ia tempati dan di bawah ada Yoga bergetar.

"Kenapa Jae?" Tanya Yoga. Ia punya firasat jika Jae menertawakan dirinya.

"Laki keren dikit lah Ga. Masa masih main Miya. Roger lah yang lebih laki," ledek Jae.

"Ah, defeat. Males."

"Ngambek," lagi-lagi Jae meledek sahabatnya.

Yoga berdiri dan berniat pindah ke tempat tidurnya sendiri. "Wah, cantik."

Celetukan Yoga membuat Nathan yang tengah memegang ponselnya terkejut. Ponsel itu jatuh tepat di atas wajahnya. Terang saja, Yoga mendapatkan tatapan tajam dari sahabatnya itu. Tapi, Yoga tetaplah Yoga. Tak merasa takut pada apapun. Baginya yang perlu ditakuti adalah mamanya. Terkadang, jika kumis sang papa tumbuh, hal itu juga menakutkan.

'Aku tak takut apapun. Siapapun. Aku hanya takut pada mama dan papa saat kumis papa panjang.'

Kira-kira begitulah jawaban Yoga saat ada yang memuji keberanian serta tingkahnya yang selalu aktif dan gigih.

Our Love Maze √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang