15

321 70 13
                                    

Soni dan Nathan berdiri di sebuah lorong rumah sakit. Sedikit menjauh dari Wendy, nyonya Atmaja dan Airina. Situasi yang tiba-tiba membawa Nathan berbicara empat mata dengan Soni Atmaja itu tentu membuat jantungnya berdebar tak karuan. Apakah pertanda ia belum siap untuk itu?

Nathan memilih untuk menatap lantai. Seragam loreng yang masih ia pakai tak bisa melindunginya. Aura kuat dari Soni, papa dari pujaan hatinya membuat nyalinya sedikit menciut.

"Kamu datang kemari sebagai apa?"

Pertanyaan itu dilontarkan begitu saja oleh Soni. Nathan bingung harus bersikap bagaimana. Dia masih memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Ia tak ingin membuat Soni meragukannya lagi.

"Sebagai teman atau hanya sekedar tugas. Tugas tim penyelamat karena telah menyelamatkan Chacha dari pembajakan?"

"Lebih dari itu, tuan Atmaja."

"Tuan? Jika lebih dari itu kenapa manggil Tuan? Panggil saja Om."

"Ya?" Nathan terkejut. Jujur ia tak pernah mendengar suara seakrab itu dari kepala keluarga Atmaja pada dirinya.

Soni tersenyum tipis. "Nathan, maaf atas segala perkataan om yang menyakitkan. Waktu itu om masih sering berpikiran pendek. Fokus om hanya ingin melindungi putri-putri om dari pergaulan yang tidak semestinya."

Nathan mengerti. Sangat mengerti perasaan Soni sebagai seorang ayah. Tetapi ia juga tak munafik, jika perkataan Soni tempo dulu banyak yang menyakiti perasaannya.

"Kalian terlalu dekat saat SMP. Ya om anggap hanya berteman biasa. Tapi Chacha terlihat seperti begitu ingin mengikuti apa yang kamu lakukan. Om khawatir. Sewaktu SMA kedekatan kalian semakin membuat om sebagai orang tua takut jika kalian khilaf."

"Maaf om... saya waktu itu juga belum bisa bersikap dewasa. Saya hanya memikirkan kesenangan saya tanpa bisa mengerti rasa khawatir dari om juga tante Arsinta."

Soni mengangguk. "Beruntungnya, kamu anak yang baik. Kamu bukan anak nakal. Terimakasih sudah menjaga Chacha. Sekali lagi maaf jika om melukai perasaanmu."

"Saya yang harusnya minta maaf karena kurang peka dengan keinginan om waktu itu."

Soni menepuk bahu Nathan. "Mulai sekarang, kalian sudah dewasa. Sudah sama-sama mengerti dan bisa memutuskan jalan hidup kalian. Om sebagai orang tua tidak bisa memaksakan keinginan om. Apapun yang kalian putuskan, pesan om, jangan sakiti Chacha."

Nathan mengangguk. "Iya om."

"Sudahlah. Sekarang kamu kembali ke markas. Chacha di sana baik-baik saja. Jika ingin menjenguk, besok saja. Kamu juga perlu istirahat, kamu juga harus jaga kesehatan. Chacha, keluargamu juga negaramu butuh kamu, Jonathan Arrafiq."

Nathan merasa merinding dengan perkataan Soni. Ia mengangguk.

"Besok saya akan datang bersama Ibu."

Soni tersenyum. "Semoga Chacha sudah bangun dan dia pasti senang jika kalian datang."

*OUR LOVE MAZE*

Keesokan harinya. Yeri sudah tersadar. Ia ditemani oleh Wendy dan seseorang yang tentu tak asing bagi Yeri. Ia sudah ada di sana bahkan sebelum Yeri bangun. Sangat rajin.

"Jadi, pak... ini benar tidak salah? Untukku?" Tanya Yeri sembari mengangkat buket bunga yang sebelumnya berada di pangkuan.

Yang ditanya malah berkacak pinggang. "Aku sudah datang sepagi ini untuk menjengukmu, tapi kamu malah meragukanku? Bagus Yer. Besok aku tidak akan datang lagi."

Yeri tertawa tapi setelahnya meringis. Ia belum bisa terlalu banyak gerak. "Iya iya aku percaya pak Yovie yang terhormat. Rasanya aku belum bisa banyak bicara."

Our Love Maze √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang