Mas Bram pun keluar dari kamar mandi, dengan rambut yang basah. Tergesa aku kembali menaruh ATMnya ke bawah bantal, lalu berpura-pura kembali bersikap seperti biasa, sambil merapikan tempat tidur.
"Dek, jadi gimana kartu ATM, Mas udah ketemu?" tanya Mas Bram sembari menyisir rambutnya kebelakang.
Aku menghentikan aktivitasku, lalu menatap ke arah Mas Bram. "Belum, Mas." ucapku pura-pura sedih, dan menyesal karena telah menghilangkan kartu ATM milik Mas Bram. Dalam hati aku tengah merencanakan sesuatu.
Terdengar Mas Bram menghela nafas. "Coba kamu ingat-ingat dimana kamu naruhnya, kartu ATM itu sangat penting buat, Mas," tegas Mas Bram, jelas sekali wajahnya sangat mengkhawatirkan kartu ATMnya entah karena isinya atau takut perempuan su*dal itu ngambek karena tidak dapat transferan.
Tentu saja penting, karena perempuan itu, bukan? Tentu saja itu kukatan dalam hati.
"Iya, Mas ini juga dari kemarin kucari-cari," balasku berpura-pura sibuk mengangakat-angkat seprey kasur.
"Coba kamu cari di bawah bantal itu, siapa tau nyelip di situ!" ujar Mas Bram sembari menunjuk bantal yang tergeletak di tempat tidur.
Deg!
Seketika rasanya jantungku mau copot mendengar intruksi dari, Mas Bram. bagaimana ini? Aku baru saja menaruhnya di bawah bantal itu, bisa ketahuan kalau begini. Ah ceroboh sekali diriku.
"Dek, kok diam aja? Kamu dengar, Mas, 'kan?" tanya Mas Bram membuyarkanku dari lamunan.
"I-iya dengar kok, Mas," balasku gugup.
Pelan sekali aku mengangkat bantalnya untuk mencari kartu ATM seperti yang diperintahkan Mas Bram, dalam hati aku berharap ada seseorang yang menyelamatkanku dari sandiwara ini, jujur aku belum siap untuk berterus terang. Saat bantal hampir terangkat semua, tiba-tiba pintu kamar diketuk, membuatku begitu kaget, sekaligus bersyukur.
"Kamu kenapa sih, kayak ketakutan gitu?" tanya Mas Bram dengan alis terangkat saat melihat tanpa sengaja tubuhku terlonjak karena mendengar ketukan pintu.
"E-enggak apa-apa kok, Mas. Aku cuma kaget aja dengar pintu di ketuk," jawabku, menahan rasa debaran antara takut ketahuan dan kaget sungguhan.
Terlihat Mas Bram hanya menghela nafas lalu membuangnya dengan Masygul. Ia pun segera membukakan pintu. Sementara aku buru-buru mengambil kartu ATMnya dan melemparnya ke bawah kolong ranjang dengan sembarangan.
"Siapa, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan dan berusaha membuang panik.
"Itu, Mbak Risa ngajakin sarapan dulu,"
Aku hanya membulatkan mulut membentuk huruf O.
"Gimana, Dek ada gak?" tanya Mas Bram lagi.
Aku menggeleng. "Gak ada, Mas?" balasku pelan, dan mengangakat bantalnya kembali agar Mas Bram yakin. "Maaf," ucapku lirih. Maaf karena telah berbohong, batinku. Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini jika tidak terpaksa.
Mas Bram kembali menghela nafas, dan merapikan pakaian kerjanya. Kemeja biru langit, dasi kupu-kupu dengan jas hitam pilihanku menjadi pelengkap penampilannya pagi ini. Ya kuakui, Mas Bram memang ganteng, tetapi apalah artinya jika hatinya terbagi dengan wanita lain.
Usai Mas Bram bersiap, aku pun membangunkan Rania, setelahnya kami menuju meja makan, untuk sarapan bersama sebelum Mas Fatir dan Mbak Risa balik lagi ke Jakarta.
"Kapan-kapan main ke Jakarta ajak, Naya sama Rania juga Mama dan Mita!" ujar Mbak Risa ke Mas Bram.
Mas Bram tersenyum, "Iya, Mbak Insha Allah kalau ada waktu."
"Iya sesekali nyenangin hati istri, ajak jalan-jalan," timpal Mas Fatir.
Mas Bram hanya tersenyum. Ngajakin kami jalan? Mana mau Mas Bram, kalau tidak terpaksa.
"Sesekali kamu ajakin, Bramnya, Nay jalan jangan mau di rumah terus bikin sumpek?" ujar Mbak Risa sembari tersenyum.
Gugup aku menjawab. "I-iya, Mbak. Nanti kalau Mas Bram gak sibuk." jawabku sembari menoleh ke Mas Bram ingin melihat reaksinya. Namun, Mas Bram tersenyum sekilas, lalu kembali melanjutkan makannya. Dalam hati justru aku tidak yakin, setelah mengetahui rahasianya.
Usai makan, Mas Bram pun pamit untuk berangkat kerja.
"Maaf ya, Mas gak bisa nganter ke bandara," ucap Mas Bram dengan wajah menyesal.
"Iya gak apa-apa," balas Mas Fatir tersenyum.
"Mita pamit juga ya!" Mita berucap sembari menyalami semuanya, termasuk aku jarang sekali ia bersikap begini, apa karena ada Mas Fatir ya? Ah sudahlah aku tidak boleh suudzon.
Mas Bram dan Mita pun pamit pergi, setelahnya Mas Fatir dan Mbak Risa pun bersiap-siap untuk pulang.
"Ma, ini buat, Mama. siapa tau, Mama butuh buat tambah-tambah jajan," Mas Fatir mengangsurkan sebuah amplop coklat ke arah Mama.
"Buat, Mama?" Mama bertanya meyakinkan.
Mas Fatir pun mengangguk. Mama segera membuka amplopnya setelahnya matanya berbinar.
"Terima kasih, Nak kalian memang anak dan menantu Mama yang paling pengertian," puji Mama memeluk Mas Fatir dan Mbak Risa.
"Memangnya, Bram gak, Ma?" goda Mas Fatir ke Mama.
"Bram, 'kan tanggungannya banyak. Istrinya juga gak kerja," jawab Mama jujur.
Seketika hatiku terasa ada yang nyelkit mendengar perkataan, Mama. Kulihat raut wajah Mas Fatir dan Mbak Risa menatap tidak enak ke arahku. Aku hanya terdiam, ya memang benar apa yang dikatakan Mama aku tidak kerja seperti Mbak Risa.
"Ya udah, kalau Mama ada butuh sesuatu bilang sama Fatir," ucap Mas Fatir berusaha mencairkan suasana yang terasa menegang.
"Ya udah kita pamit dulu ya, Ma!" ucap Mas Fatir dan Mbak Risa sembari mencium tangan Mama dengan takzim. Setelahnya Mameluk dan mencium pipi Mama.
"Nay kita pamit ya!" ucap Mbak Risa lalu memelukku.
"Iya, Mbak hati-hati ya!"
"Iya."
Sementara Mas Fatir hanya mengangguk mengisyaratkan sebagai tanda pamit, aku pun membalasnya.
"Eyang, kita pulang dulu ya!" pamit Galih dan Nadia sembari menyambut tangan Mama. Lalu Mama pun mencium kedua pipi cucunya itu.
"Tante, kita pulang ya!" Mereka pun menyambut tanganku, aku pun mencium pipi ke duanya lalu mereka pun pamit ke Rania.
Setelah mobil Mas Fatir dan Mbak Risa pergi meninggalkan halaman rumah, kini tinggalah aku dan Mama juga Rania di rumah. Seperti biasa Mama kembali bersikap ketus padaku. Namun, aku tidak mau ambil pusing, dan kembali masuk untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa.
Membersihkan sisa sarapan yang masih berserakan. Tadi, Mbak Risa sempat menawarkan diri untuk membantu membersihkannya. Tetapi, aku sengaja menolak karena ia akan pergi.
Aku segera mencuci piring dan gelas di wastafel, lalu mengeringkannya di rak piring setelahnya menyapu lantai dan mengepel, hari ini aku sengaja mencuci pakaian setelah beberes rumah. Tidak lupa setelah semua beres aku juga harus masak.
Usai mengerjakan semua pekerjaan rumah aku kembali masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Saat akan mengambil handuk tiba-tiba ponselku berdering, sebuah panggilan masuk dari seseorang yang ku kenal, aku pun segera mengangkatnya.
"Iya, hallo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMBUAT SUAMI MENYESAL
Romance"Ya ampun, Mbak mau ikut kondangan apa ngelayat?" tawa Mita pecah saat melihatku keluar dari kamar, kulihat Mama pun terkikik entah apa yang lucu. Sementara Mas Bram hanya menghela nafas. "Ma-maaf aku cuma punya ini," jawabku. Penampilan Mita sama...