Raut wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan akan pertemuan tidak sengaja ini, dengan cepat ia mengundurkan diri dengan alasan ingin melanjutkan pekerjaan.
"Maaf, saya pamit!" buru-buru ia membereskan peralatannya, dan berlalu meninggalkan kami.
Sejenak aku termangu menatapi kepergiannya, "Bu, Ibu gak apa-apa?" tanya Nisa membuyarkan lamunan.
"You are oke?" Kini giliran, Dewa yang bertanya. Lalu tatapannya pindah ke arah lelaki yang membuatku bergeming. "Bukankah itu ...." Cepat aku memotong kalimatnya.
"Em, eh iya aku gak apa-apa, ayo kita pergi!" jawabku, lalu tersenyum meski dalam hati menyimpan perasaan penasaran mendalam.
Sembari berjalan aku masih memandang ke arah di mana lelaki itu pergi, hingga punggungnya hilang dibalik dinding yang menjadi skat antar ruang.
Tiba di ruangan Pak Bambang yang merupakan kepala cabang, kami langsung mendikusikan masalah pekerjaan, Dewa pun ikut masuk.
"Baik, Pak kalau begitu saya berterima kasih, untuk masalah proyek baru ini sepenuhnya saya serahkan sama Bapak," ucapku.
"Baik, Bu saya akan berusaha sebaik mungkin. Terima kasih atas kepercayaannya."
Diskusi masalah pekerjaan pun selesai, kami pun makan siang bersama. Selesai makan aku kembali menemui Pak Bambang karena ada sesuatu yang ingin kutanyakan, sementara Nisa dan Dewa menunggu di lantai bawah.
"Saya ingin bertemu, OB yang tadi pagi menabrak saya!"
Pak Bambang sedikit terkejut, takut karyawan di kantor cabangnya melakukan kesalahan.
"Apa perlu saya memecatnya?"
"Tidak, tidak. Aku hanya perlu bertemu dengan lelaki itu sebentar!'
"Baik, kalau begitu saya akan suruh seketaris saya memanggilnya," ujar Pak Bambang. Aku pun hanya mengangguk.
Setelah menunggu beberapa menit.
"Apa, Bapak memanggil saya?" ucapnya setelah mengetuk pintu dan mengucap salam.
Aku memutar balik kursi kebesaran Pak Bambang yang kupinjam, menghadap ke arahnya mata kami bertemu, wajahnya nampak terkejut setelah mengetahui ternyata bukan Pak Bambang.
"Na-naya! Maaf, Bu Naya maksudnya." Dengan cepat ia kembali menguasai dirinya.
"Duduk," titahku.
Ia pun duduk mengambil posisi kursi di depanku, hingga kami berhadapan langsung.
"Apa kamu ingin memecatku, karena masalah tadi pagi?" tanya langsung tanpa basa-basi.
Aku menghela nafas, dan membuangnya dengan masygul. Sangat tidak bijak jika aku memecat Mas Bram karena urusan pribadi, sementara pekerjaannya tidak bermasalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMBUAT SUAMI MENYESAL
Romantik"Ya ampun, Mbak mau ikut kondangan apa ngelayat?" tawa Mita pecah saat melihatku keluar dari kamar, kulihat Mama pun terkikik entah apa yang lucu. Sementara Mas Bram hanya menghela nafas. "Ma-maaf aku cuma punya ini," jawabku. Penampilan Mita sama...