Dituduh Selingkuh

9.4K 535 3
                                    

"Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mas Bram dengan sinis sembari melipatkan tangan di depan dada, saat jarak kami sudah berdekatan.

"Dari rumah sakit, Mas jengukin Oma yang kemarin aku ceritain," jawabku apa adanya. Lalu menyuruh Rania masuk terlebih dahulu, Rania pun menurut.

"Siapa laki-laki tadi, kenapa kalian begitu terlihat akrab?" Mas Bram bertanya penuh intimidasi.

"Bukan siapa-siapa, Mas!" jawabku jujur.

"Jangan bohong, kamu. Itu pasti selingkuhan kamu, 'kan?" Suara Mas Bram naik beberapa oktaf.

"Mas ...," teriakku tak terima karena tuduhannya. Bagaimana bisa Mas Bram berkata demikian, sementara di belakangku dialah yang sebenarnya telah berselingkuh, dan sekarang malah menuduhku.

"Udah jangan ngelak kamu, itu buktinya apa?" Mas Bram menunjuk paper bag yang kupegang.

Aku semakin tergeragap dengan perkataan Mas Bram, antara marah dan bingung mau jawab apa.

"Hem, gak bisa jawabkan kamu, ternyata dirumah kamu pura-pura lugu, tapi ternyata dibelakangku kamu bermain gila." Tega sekali Mas Bram berucap, menuduhku bermain gila dengan lelaki lain. Sementara dialah yang sudah bermain gila di belakangku.

Dadaku bergemuruh, tangan terkepal dengan kuat, hingga menimbulkan buku-buku putih. Amarahku memuncak mendengar tuduhan dari mulut Mas Bram.

"Sudah berapa lama kamu bermain di belakangku? Hah," Lagi Mas Bram bertanya dengan nada tinggi, membuat nyaliku ciut. Namun, aku tidak boleh takut karena aku tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Mas Bram.

"Mas .... Cukup ya jangan keterlaluan kamu!" Suaraku meninggi, hingga tanpa sadar tanganku me*ampar wajah Mas Bram.

Plak!

Kulihat Mas Bram meringis kesakitan sambil memegangi wajahnya.

"Jangan sembarangan kamu, Mas aku tidak serendah itu." Aku berucap dengan nada berapi-api tidak terima dengan tuduhan Mas Bram.

"He! Naya berani sekali kamu menampar anak saya, dasar perempuan bodoh?" pekik Mama dari dalam menuju teras.

"Sudah dikasih hidup enak, tinggal di rumah mewah tetap bertingkah, tidak tau terima kasih. Dasar mantu tidak tau di untung." Tangan Mama terangkat ingin menamparku, aku sudah kalap dan terlanjur emosi dengan sigap kucekal tangan Mama dengan kuat.

"Jangan sekali-kali, Mama berani menyentuhku!" Aku melepaskan tangan Mama dengan sedikit kasar.

"Naya, jangan keterlaluan kamu!" seru Mas Bram tidak terima. Sembari memegangi tubuh Mama yang sedikit oleng karena kusentak tangannya.

"Kamu yang keterlaluan, Mas. Menuduhku selingkuh. Ini apa?" Aku merogoh ponsel dalam tas dan memperlihatkan semua percakapan Mas Bram dengan perempuan su*dal tersebut.

Seketika Mas Bram tergeragap, wajahnya nampak pias, mungkin tidak percaya bahwa selama ini perselingkuhannya sudah kuketahui.

Mata Mama pun terbelalak tidak percaya. Namun sebagai orang tua yang anaknya tidak boleh disalahkan, dengan lihainya ia membela. "Bisa saja, Bram begitu karena kamu yang tidak bisa jaga diri, apa pantas seorang istri pulang malam-malam dengan lelaki asing?" kuakui Mama memang pintar berkata hingga membuatku tersudut seakan kesalahan semua tertumpu padaku.

"Tapi, Ma aku sudah izin sama Mas Bram." Aku berusaha membela diri.

"Mama tau, yang Mama tanyakan apakah pantas seorang istri pulang dengan lelaki asing malam-malam begini?" Lagi Mama mengulang pertanyaannya dengan nada tinggi. Membuat terkesiap.

"Dan itu apa?" Mama menunjuk paper bag yang ada di tanganku, lalu mengambilnya dengan paksa.

Saat membuka isinya mata Mama membulat, dan menggeleng seakan tidak percaya.

"Dari mana kamu dapatkan ini?" Mama mengambil liontin tersebut dan menunjukkannya.

Mas Bram segera meraih liontin tersebut. "Berarti benar dugaan, Mas kamu selingkuh dengan lelaki itu, dan ini, ini dari lelaki itu, 'kan?" bentak Mas Bram.

Mataku begitu terasa panas, bulir bening lolos membasahi pipiku.

"Sudah kukatakan, aku tidak punya hubungan apa-apa dengan lelaki itu!" tegasku dengan suara bergetar.

"Lalu ini apa? Ha!" Mas Bram kembali membentak hingga pertahanan ini seakan mau runtuh.

"Itu Oma Lastri yang kasih, perempuan yang kutolong waktu kecelakaan!" jujur aku berucap.

Namun sepertinya, Mas Bram dan Mama enggan untuk percaya.

"Jangan ngarang kamu, Nay. Mana ada orang asing ngasih barang kek gini kalau tidak ada maksud tertentu, kamu tau ini harganya berapa? Tujuh puluh lima juta." tegas Mas Bram.

Aku pun terbelalak tidak percaya bahwa harga liontin yang terlihat biasa saja, ternyata harganya semahal itu.

"Mas, kasih kamu kepercayaan, tetapi kamu malah sia-siakan. Mas kecewa sama kamu, Nay." Aku tidak tau di sini justru Mas Bram yang telah selingkuh, tetapi kenapa malah aku yang harus menanggungnya.

"Aku lebih kecewa sama kamu, Mas!" sungutku.

"Ayo, Nay jujur saja dari mana kamu dapat liontin ini? Kalau tidak ...." Mama menggantung ucapannya.

"Kalau tidak apa, Ma?" tanyaku.

"Kalian cerai saja!" pungkas Mama dengan angkuh, Mas Bram pun terdiam sembari melipatkan tangan di depan dada, seakan ucapan Mama barusan adalah sebuah cara agar aku mengakui kesalah yang sebenarnya tidak kulakukan.

"Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Percuma juga punya suami, Tapi pelit dan diam-diam bermain gila dengan wanita lain," ketusku.

"Ha! sombong sekali kamu, Naya apa yang bisa kamu lakukan tanpa Bram?"

"Sudahlah, Mas usir saja perempuan gak tau diri kayak gitu, udah ketahuan selingkuh tetap aja sok-sokan bela-belain diri. Najis," timpal Mita yang tiba-tiba datang sembari mengibaskan rambutnya.

"Sekarang kamu pilih, Nay jujur atau kamu pe ...." Belum sempat Mas Bram menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotong ucapannya, terlalu pahit dan menyakitkan jika harus mendengarnya dari lelaki yang selama ini kupercaya untuk kuberlindung sebagai istri.

"Baiklah, Mas kalau itu membuat kalian puas aku akan pergi dari sini!" tegasku seraya mengusap sisa air mata. Aku pun melangkah masuk mengemasi barang-barang.

"Ingat ya jangan bawa barang-barang di rumah ini," teriak Mama dari luar.

Aku kembali keluar membawa pakain milikku yang memang tidak seberapa.

"Coba priksa jangan-jangan dia bawa barang-barang di rumah ini," sindir Mita.

"Mama dan Mita tenang saja, semua barang ini milikku, kalau tidak percaya silahkan priksa!" tegasku.

Terlihat Mama dan Mita nampak saling berpandangan keberatan jika harus menyentuh tas kumuh milikku.

"Satu lagi, jangan bawa Rania!" ucap Mas Bram, aku ingin protes, tetapi tidak mengapa untuk sementara Rania tinggal bersama ayahnya sebab aku pun belum tau harus kemana.

"Biarkan saja dia pergi, Bram. Perempuan kampung seperti dia hidup sendiri di luar sana bisa apa?" ucap Mama saat aku mulai melangkah pergi.

Aku hanya menggigit bibir demi mendengar ucapan, Mama.

Hari sudah malam, sementara gerimis masih saja belum reda seolah menggambarkan hati yang tengah bersedih. Aku terus melangkah entah harus kemana? Saat akan menyeberang tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang membuatku seketika berteriak.

"Aaaaaaaaaaa'......" Tas yang kupegang pun seketika terjatuh.

MEMBUAT SUAMI MENYESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang