Tawaran Rujuk

18.1K 664 17
                                    

"Hallo, Papa," Begitu sambungan video call terhubung Rania langsung menyapa Mas Bram. Aku duduk di samping Rania. Namun, sengaja belum menampakkan diri.

"Rania, anak Papa," ucap Mas Bram dengan binar bahagia.

Aku pun segera memberi kode ke Rania untuk memberikan ponselnya, padaku Rania pun menurut.

"Hallo mantan!" sapaku sembari tersenyum lebar menampakkan baris gigiku yang putih.

Glek, terlihat Mas Bram menelan saliva.

"I-itu ka-kamu, Naya istri, Mas?" tanya Mas Bram terbata. Tiba-tiba, rasanya mual mendengar kata istri yang terucap dari bibirnya. "Ca-cantik sekali," lanjutnya dengan mata tak berkedip.

"Perempuan itu akan terlihat cantik kalau dimodalin, Mas," jawabku sembari terus mengulas senyu.

Terlihat Mama ikut menyempilkan wajahnya ke dekat Mas Bram, berebut ingin melihatku.

"Ma-mantu Mama cantik sekali," pujinya.

Aku hanya tersenyum geli melihat kelakuan mantan suami dan mertuaku tersebut. Mereka baru memuji-mujiku setelah tau aku kaya.

"Aku cuma mau ngingatin untuk segera mengurus surat perceraian kita!" tegasku.

"Na ...." Belum sempat Mas Bram meneruskan kalimatnya aku langsung memutuskan sambungan videonya.

Aku yakin Mas Bram saat ini akan terus memikirkanku, rasakan dan nikmatilah, Mas, betapa sakitnya merindukan.

Usai video callan dengan Mas Bram aku dan Rania pun keluar menemui Oma, sekali lagi aku mematut diri di depan cemin. Naya Putri Hanggara bukan lagi Naya yang dulu. Penampilanku kini telah berubah, tidak lagi kucel.

Sepertinya Oma sedang bicara serius dengan Dewa. Aku menyuruh Rania untuk bermain dengan Bi Sari, sementara aku menemui Oma.

"Rania Sayang main dulu ya sama Bibi," ucapku, sembari tersenyum menatap puteri kecilku yang menggemaskan.

"Baik, Ma,"

"Bi titp Rania ya!"

"Baik, Non," jawab Bi Sari, lalu mereka pun pergi bermain.

Pelan aku melangkah mendekati Oma. Dewa menatapku masih dengan dingin, sungguh menyebalkan pria satu ini, dan Oma menyuruhku menanyakan perihal kantor dengannya? Kenapa gak sekalian aja suruh masuk kandang sianga?

"Naya, sini Sayang," ucap Oma sembari menepuk sofa di sampingnya.

Aku tersenyum kikuk, dan mendekat ke arah Oma.

"Ada apa, Oma?" tanyaku.

"Ada hal serius yang ingin, Oma sampaikan! Sebelum sidang perceraian kalian, lebih baik kamu istirahat persiapkan diri, untuk fokus dengan pekerjaan kantor," ucap Oma setelah aku duduk di dekatnya.

"Gak apa-apa, Oma. Sambil menunggu, Naya ikut ke kantor, sambil belajar juga," jawabku.

"Tidak, untuk sementara kamu bisa belajar di rumah. Biar, Nak Dewa yang akan menjelaskan hal-hal yang belum kamu ketahui, di ruangan, Oma ada banyak dokumen yang bisa kamu pelajari."

What? Belajar dengan lelaki songong itu? Aku menatap getir ke arah Dewa terlihat ia tersenyum sinis sembari menautkan alis, seolah tengah menakutiku.

"Tapi, Oma?" protesku.

"Oma, percaya kalian bisa untuk bekerjasama," ucap Oma sembari tersenyum.

Astaga, mimpi apa aku? Harus bertemu alien menyebalkan itu.

***

Hari ini aku sengaja pergi ke supermarket karena ada sesuatu yang harus dibeli. Bisa saja menyuruh orang untuk membelinya, tetapi karena aku ingin membuat masakan spesial buat, Oma jadi aku sendiri yang harus mencari bahannya.

Setelah hampir setengah jam akhirnya aku menemukan semua bahan yang kucari, aku pun bergegas untuk pulang. Pak Rudi sudah menunggu di parkiran, karena aku yang minta.

Kami pun segera pulang, tiba di rumah besar Oma, aku pun segera turun. Saat akan melangkah masuk ke rumah, tiba-tiba seseorang memanggilku.

"Nay ...." Aku menghentikan langkah, dan menoleh ke sumber suara. Ternyata, Mas Bram.

Aku terkejut melihatnya ada di sini. Apa Mas Bram mengikutiku?

"Nay, apa ini rumahmu?" tanya Mas Bram, sembari menelan saliva setelah memandang takjub rumah besar yang kutempati.

"Seperti yang kamu lihat," jawabku singkat. "Ada perlu apa, Mas Bram kemari?" tanyaku jutek. "Kalau tidak penting silahkan pulang, aku sibuk!"

"Kamu ngusir, Mas?" tanyanya dengan wajah sedih.

"Aku tidak mengusirmu, tapi kamu tau sendiri sekarang aku bukan lagi, Naya yang dulu," ucapku.

"Mas kangen, Rania," jawab Mas Bram. Entah mengapa aku merasa bukan itu maksud dan tujuannya.

"Papa ...." teriak Rania melihat Papanya datang, lalu menghambur memeluk Papanya. Mas Bram pun membalas memeluk Rania.

"Ya sudah sekarang kamu sudah ketemu, Rania. Mas bisa pulang," ketusku, tidak ada lagi ada manis-manisnya saat meninggalkannya.

"Nay, sebenarnya Mas kesini ingin mengajakmu rujuk." Akhirnya Mas Bram menyatakan tujuannya.

Aku tersenyum, bukan lantaran senang. Tetapi karena merasa lucu.

"Mas pikir setelah menalakku, Mas bisa mengajakku rujuk begitu saja?" sergahku.

"Mas janji kalau kamu mau rujuk sama, Mas. Mas akan batalkan pernikahan Mas dengan Meira. Mas sadar hanya kamu yang Mas cinta."

Ha, rayuan macam apa itu, dia pikir aku akan luluh. Tidak, Mas tidak akan.

"Tidak apa kalau kamu benci sama, Mas. Mas ngaku selama ini Mas salah. Tapi coba pikirkan Rania jika sampai kita berpisah!" ucapnya.

Waw, pandai sekali Mas Bram berucap, apa dia bilang pikirkan Rania, lalu dimana pikirannya saat tengah bermesraan dengan wanita lain, apa dia memikirkan Rania, yang merupakan darah dagingnya sendiri?

"Tidak, Mas aku tidak bisa," jawabku.

"Kenapa, Nay? Bukankah waktu itu kamu bilang kamu sangat mencintai, Mas?" tanyanya.

Aku menggigit bibir pura-pura sedih, dan bingung.

"Mas tau, 'kan kalau perempuan yang ditalak tiga tidak bisa rujuk lagi, sebelum ia menikah lagi dengan lelaki lain," ucapku pura-pura sedih dan menyesalkan tindakannya.

Mas Bram tercengang, dan bergeming barangkali mencerna ucapanku barusan.

"Nay, kalau kamu mau pasti ada jalan," ucapnya tak menyerah.

Aku menggeleng. Balikan lagi? Ogah, sudah seharusnya barang bekas dibuang pada tempatnya. Sama halnya dengan mantan.

"Kamu bisa menikah dengan lelaki lain, biar Mas yang akan mencarikan calon untukmu agar kamu bisa rujuk sama, Mas," ucapnya.

Apa? Apa otaknya sudah tidak waras? Rasanya benar-benar geram mendengar ide songong dari, Mas Bram, kalau tidak mengingat negeri ini negeri hukum mungkin sudah kutendang barang berharganya saking geramnya. Namun, aku tetap harus pura-pura, dan menyanyangkan perpisahan ini.

"Tidak, Mas. Tidak boleh seorang perempuan sengaja menikah dengan muhalil agar ia bisa rujuk dengan suaminya, apa perlu kubacakan hadisnya? Bagiku menikah juga tidak sebercanda itu."

Mas Bram tertunduk lesu, tubuhnya terkulai lemas. Kalau sudah begitu tak ada lagi harapan rujuk baginya. Dalam hati aku tertawa puas melihatnya, seperti orang yang jatuh cinta tetapi tidak kesampaian. Akhirnya kamu tau betapa sakitnya memperjuangkan, namun akhirnya sia-sia.

Perlahan aku meninggalkan Mas Bram masuk ke rumah. Dari balik jendela aku bisa melihat betapa terpukulnya dia. Bukan iba malah eneg melihat gaya lebay Mas Bram.

Saat lagi melihat Mas Bram yang tengah sedih dan menyesal. Tiba-tiba seseorang mengagetkanku.

"Lagi ngapain kamu?"

MEMBUAT SUAMI MENYESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang