Kejutan dari Pasangan Suami Istri

12.5K 678 1
                                    

Sudah dua hari aku pergi dari rumah, tepatnya terpaksa pergi, dan menemani Oma di rumah sakit. Sementara Oma baru diperbolehkan pulang besok.

"Kondisi, Ibu sudah lebih baik. Sepertinya besok sudah bisa pulang. Sekarang lebih baik banyak istirahat!" ucap seorang Dokter yang menangani Oma.

Oma tersenyum ke arahku mendengar penjelasan dokter Irfan, yang mengatakan kalau besok Oma sudah bisa pulang.

"Alhamdulillah," ucapku sambil menggengam tangan Oma, rasanya bahagia akhirnya Oma bisa pulang.

"Terima kasih, Dok," ucap Oma pada Dokter Irfan.

Dokter Irfan pun tersenyum, "Sama-sama, Bu kalau begitu saya permisi dulu,"

Setelah Dokter Irfan keluar, aku segera menyuruh Oma istirahat.

"Sebaiknya Oma istirahat saja dulu, jangan banyak gerak, Naya mau pamit keluar sebentar." Biasanya pagi-pagi aku mendorong Oma duduk di kursi roda keluar menghirup udara segar di taman belakang rumah sakit.

"Mau kemana?" tanya Oma dengan wajah penasaran.

"Em, Naya mau ambil berkas yang tertinggal di rumah Mas Bram," jawabku jujur.

Oma menggenggam jari jemariku seakan memberi kekuatan.

"Kalau permasalahannya masih bisa diselesaikan, Oma hanya bisa berharap agar kalian tetap bisa bersama dan sama-sama saling terbuka." ujar Oma memberi nasihat.

Aku hanya tersenyum, tanpa tau harus mengaminkan atau justru mundur perlahan, entah hati yang bagaimana harus kupersiapkan lagi demi menghadapi mertua, ipar sekaligus suami yang kuharapkan untukku berlindung, malah memperlakukanku seperti seorang yang tidak dianggap.

"Naya pamit dulu ya!" ucapku, tanpa menanggapi ucapan Oma.

Oma memgangguk, "Hati-hati! Apa perlu Bayu mengantarmu?"

"Iya, Oma. Tidak usah," tolakku halus. aku tidak ingin menambah masalah, cukup sudah kemarin Mas Bram menuduhku berselingkuh karena, Pak Bayu mengantarku pulang.

***

Aku berhenti di depan rumah lumayan besar, rumahnya Mas Bram. Aku sengaja datang di waktu pagi, saat Mas Bram sedang pergi ke kantor. Pelan aku membuka pintu gerbang kulihat Mama tengah menyiram bunga di halaman depan, hal yang tidak pernah ia lakukan kalau aku ada di rumah.

Tidak lama kemudian Rania muncul dari pintu, hatiku begitu terasa rindu melihat malaikat kecilku, tetapi dia tidak melihatku, dan beralari memanggil-manggil neneknya.

"Nek, Nenek Lania lapel mau makan," rengeknya memegangi tangan Mama yang sedang sibuk menyiram bunga.

"Aduh, nih anak nyusahin aja, kayak ibunya! bisa gak sih gak ngerepotin," bentak Mama.

"Tapi, Lania lepel nek." Rania mulai menangis merengek agar dimasakin makanan.

Diluar dugaan Mama malah menje*er telinga Rania, Rania pun semangkin menangis.

"Lapel, lapel bikin susah orang aja!"

"Ampun, Nek cakit Nek," teriak Rania meraih-raih tangan Mama agar segera dilepaskan.

"Mama ....cukup, Ma!" Teriakku geram tak tahan melihat kelakuan, Mama sambil menghampiri Rania. Rania pun menghambur memeluk tubuhku.

"Mama ...." Teriak Rania masih terisak.

Entah Kenapa Mama begitu tega dengan anakku padahal dia itu anaknya Mas Bram.

Mama pun segera melepaskan tangannya.

"Pulang juga kau rupanya, kebetulan itu anakmu urus yang benar jangan cuma bisa nyusahin orang," ketus Mama. Aku pun memeluk tubuh mungil Rania dan segera menggendongnya.

"Apa Mama bilang perempuan sepertimu bisa apa hidup di luar sana! Tanpa Bram anakku," sambung Mama lagi dengan angkuhnya.

"Maaf, aku kesini bukan untuk kembali tinggal di sini. Tapi, untuk mengambil ijazah yang kemarin tertinggal," tegasku.

"Heh, apa maksudmu?" tanya Mama dengan nada tinggi. "Ijazah SMA aja sok-sokan," ucap Mama tidak terima.

Terserah!

Aku tidak berniat meladeni Mama, lebih baik aku segera masuk dan mengambil Ijazah dan berkas lainnya yang kusimpan di kamar Mas Bram.

Saat masuk, mataku melotot tak percaya melihat keadaan rumah yang berantakan sepertinya selama aku pergi tidak ada yang mengerjakan pekerjaan rumah. Tiba-tiba suara Mita mengangetkanku.

"Baguslah, lo pulang itu di dapur belum ada masakan, cucian juga udah numpuk, cepat sana masak aku udah laper!" sergahnya.

Aku tersrnyum sinis. "Kalau laper kamu bisa masak sendiri, apa gunanya tangan dan kakimu kalau urusan perut saja masih mengandalkan orang lain," balasku.

"Heh, kamu pikir kamu siapa beraninya sok-sokan nasehatin?" balasnya tak terima.

"Sudahlah, aku gak ada waktu lama-lama di sini!" Aku segera melangkah menuju kamar Mas Bram. Tetapi pergelangan tanganku ditarik.

"Heh, Mbak jangan belagu ya, cepatan masak!" Mita masih tidak terima dan tidak percaya atas jawabanku dan masih memaksaku untuk memasak.

Aku menghentakkan tangannya, hingga tubuhnya sedikit terpental, matanya melotot tak percaya akan perlakuanku. "Masak saja sendiri!" tegasku lalu kembali melangkah meninggalkan Mita yang seketika syok, seperti orang kena sawan.

Tiba di kamar aku segera mengambil berkas yang sengaja kusimpan di dalam lemari bawah saat pertama kali aku pindah ke sini. Setelah ke temu aku pun segera kembali menggendong tubuh Rania mengajaknya untuk segera pergi. Di luar aku melihat Mama dan Mita.

"He, Mita kamu kenapa?" tanya Mama.

Mita mengedip-ngdipkan matanya, "Kamu kenapa?" tanya Mama lagi.

Saat pandangan keduanya teralih padaku aku pun melangkah tanpa memperdulikan mereka. Tetapi langkahku terhenti karena Rania tiba-tiba merengek.

"Ma, Lania lapel," rengeknya.

"Sabar ya, Sayang." Aku berusaha menenangkannya.

"Lania mau makan, Ma," rengeknya lagi.

Akhirnya aku pun mengalah dan beralih menuju dapur, tanpa mempedulikan Mama juga Mita yang tengah menatap sinis ke arahku.

"Kamu tunggu di sini dulu ya, Mama masakin makanan buat Rania," ucapku setelah mendudukannya di kursi makan.

Rania pun mengangguk.

Aku segera mencari bahan-bahan yang bisa di masak, hanya ada telur dan sayur yang sudah hampir layu. Aku beralih ke kitchen set dan menemukan sebungkus mie instan. Aku pun segera memasaknya dan mengambil telur dalam kulkas yang tadi kulihat. Tak perlu menunggu lama sebungkus mi istan dengaan campuran telur sudah terhidang di atas meja. Seketika mata Rania berbinar bahagia, membuat sudut mataku menghangat. 'Maafkan, Mama sayang. Mama janji tidak akan meninggalkan Rania lagi' batinku.

Aku pun menyuapi Rania dengan senang, Mama dan Mita segera menghampiri sepertinya mereka juga lapar, terlihat dari cara mereka menelan saliva.

"Nay, kenapa kamu gak sekalian masak buat, Mama juga Mita?" tanya Mama.

"Oh, Mama dan Mita juga mau?" tanyaku pura-pura.

"Kamu tu ya, sekarang suka melawan dan belagu!" ucap Mama tak teriama.

"Ya sudah kalau, Mama dan Mita tidak suka biar Naya dan Rania pergi," balasku santai.

"Ayo sayang!" Aku menggamit tangan Rania mengajaknya untuk pergi, tidak akan kubiarkan Rania tinggal di sini meski sama Neneknya sendiri setelah melihat yang terjadi tadi pagi.

"Hei, mau kemana kalian?" teriak, Mama. Tetapi tidak kupedulikan.

"Lihat saja! Akan kuadukan sama Bram!" ancam Mama, masih tidak menyerah.

"Adukan saja!" balasku, masih terus sambil melangkah.

Aku dan Rania pun segera pergi, kembali ke rumah sakit. Setelah ini aku berencana untuk tinggal berdua sama Rania mengontrak juga tidak apa-apa. Saat kembali ke rumah sakit aku dikejutkan dengan sepasang pasutri yang menjadi tamu Oma, seketika membuat tubuhku terasa lemas.

MEMBUAT SUAMI MENYESALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang