Chapter 15 ▪ Mr. Ros

7 4 2
                                    


Chapter 15 ▪▪▪ Mr. Ros

Pagi pagi buta, Jeyfir, Reo, Liya, Rea, dan Vhinta pamit kembali ke Kota Yadgara. Mereka masih menggenggam harapan pada sang guru. Tidak ada yang diberi tahu bahwa Nazir akan ke padepokan hari itu. Kelima muda mudi itu segera pulang dan mengistirahatkan tubuh, mereka sudah meminta izin pada orang tua masing masing sebelum perjalanan ke Distrik 1, dan kini mereka dipastikan membolos sekolah karena waktu yang ditempuh bisa mencapai setengah hari.

Namun, Liya tidak ingin istirahat dulu, ia meminta izin pada orang tuanya untuk menjenguk ke kediaman Yandasa dan membeli buah tangan. Namun, ayah dan ibu Liya tidak mengizinkannya. Gadis itu harus istirahat setelah melakukan perjalanan jauh.

0oo0

Netra kelabu itu tak lagi menampakkan kecerahannya, melainkan lebih terlihat seperti langit mendung yang sudah mengomandokan rintiknya. Di sisi lain, sang istri yang memasak di dapur tidak berhenti menitikkan air mata, hatinya terasa sesak. Mereka sama sama memikirkan anak semata wayangnya yang entah sekarang sedang apa dan diperlakukan seperti apa di sel tahanan. Karena sudah tak kuat lagi, Maya menaruh sajiannya dan berlari ke rengkuhan Istran yang sedang duduk bersila, wanita itu menangis sejadi jadinya di dada sang suami. Istran hanya diam mendekap Maya dengan air yang menngantung di bola matanya.

"Suamiku, apa kau percaya berita tentang Avizo?" Maya mendongak menatap wajah suaminya yang datar dan tidak menampakkan sedikitpun kecerahan.

"Mana ada ayah yang percaya bahwa anak yang selalu ada dalam penjagaannya dituduh sebagai pembunuh, Maya." Maya terisak membiarkan Istran mengusap ubun ubunnya lembut namun, hal itu hanya menyingkirkan setengah persen kekhawatiran Maya.

"Percayalah, yang benar akan selalu menang," ujar Istran menenangkan.

0oo0

Dengan borgol di kedua tangannya, Avizo duduk dengan pandangan tertunduk di dalam sel. Ia tidak sendirian, ada tiga tahanan lagi yang tangan dan kakinya di belenggu. Netra biru kelam itu sama sekali tidak tahu cara membela dirinya di depan pihak kehakiman, dan sekarang para prajurit yang bertahta sedang merapatkan hukuman untuknya.

"Hey, anak muda," panggil salah seorang pria tahanan yang mata kanannya terluka. Avizo menoleh, ada raut wajah tak bersahabat darinya.

"Sepertinya kau pembunuh ya?" ucapnya dengan senyum miring yang jelas jelas menghina. Avizo hanya diam dan melirik sekilas dengan tatapan tidak suka.

"Hee.. diam berarti iya, kan?"

"Jaga ucapan anda. Aku masih mempunyai tata krama pada yang lebih tua," balas Avizo dengan kesal.

"Kau tidak menyangkalnya. Berarti kau benar benar pembunuh. Boleh aku tahu, apa motifmu? Balas dendam? Percintaan? Atau semacm gangguan jiwa?" Avizo yang tidak terima langsung berdiri dan mendekat.

"Semoga kau menyesal telah mengatakannya, Paman."

"Avizo Yandasa!" seru seseorang di luar sel. Pemuda itu menoleh, mendapati seorang prajurit yang membuka gembok sel, ia mendekat.

"Prajurit Keino dan salah seorang tamu ingin bertemu denganmu." Alis Avizo bertaut,

"Tamu?"

"Ya, anak bermata merah." Cukup dengan penuturan itu, Avizo mengulum senyum, ia langsung siap dan keluar dari sel mengikuti arahan prajurit tadi.

Terlihatlah sosok Keino dengan seorang pemuda bernetra merah yang kini berpakaian compang camping, lengannya sobek di sana sini, Avizo mengerutkan dahi.

Bukan. Bukan pemuda ini yang ditunggu Avizo. Dia bukan Nazir.

"Perkenalkan, Avizo, aku Herfle Viones, sahabat Nazir." Si pemuda yang mengenalkan diri sebagai Herfle itu membungkukkan badan, diikuti Avizo.

"Ada yang ingin kau katakan?" tanya Avizo, ia masih mengharapkan sesuatu dari Nazir yang bisa dijadikan bukti ketidakbersalahannya dalam kasus Wharkys.

"Avizo, Nazir tidak bisa datang secepatnya. Dia juga tidak bisa mencari bukti untuk membuatmu segera keluar dari sel. Nazir tengah berada di urusan lain. Tetapi ia akan membantu sebisa mungkin." Sontak, pancaran harapan yang tadi bersinar di kedua manik Avizo kini menghilang perlahan. Nazir sepertinya memang sibuk.

"Pembunuh sepertinya akan dibela? Bahkan dengan jalur dalam? Cih!" Salah seorang penghuni sel berceletuk. Avizo tidak terima namun, ia hanya bisa menggemerutukkan grahamnya menahan amarah. Keino menoleh dan berkata,

"Ingat saja hukuman matimu yang akan segera dilaksanakan besok pagi, Derte!" Yang terpanggil pun menatap nyalang wajah si ketua sipir, ada dengusan kesal yang mengikuti. Sedangkan atensi Avizo kembali pada Herfle.

"Herfle, apa Nazir benar benar tidak bisa?" Si lawan bicara hanya menunduk dan menggeleng.

"Apa alasannya?" Herfle melirik Keino sekejap, lalu mendekat dan berbisik.

"Jika dia memaksa membantu, nyawamu dan nyawa Nazir bisa berada dalam bahaya." Kalimat itu terdengar jelas di telinga Avizo. Herfle mundur beberapa langkah, "Nazir tidak dapat dihubungi dan dilacak, aku sedikit tahu kisahmu dari Nazir yang saat itu tengah diam diam keluar dari zona berbahayanya. Ia mengatakan padaku untuk memberitahukan padamu bahwa Nazir masih tidak dapat berkutik. Namun, aku bisa menggantikan Naz--" kalimat Herfle terpotong,

"Dimana Avizo?" Semua mata tertuju pada seorng prajurit yang berbadan tegap, Keino langsung membungkukkan badan saat pria tersebut berhenti di depan Keino, Avizo, dan Herfle.

"Kau mencari A? Dia ada di hadapanmu, Georji," ujar Keino yang berangsur menegapkan tubuh. Mata Georji menelisik Avizo. Ia mendekat dan mencengkeram bahu kiri si netra biru kelam.

"Kau juga ingin menuduhku? Cih!" Avizo memalingkan muka. Georji memasang wajah tegas, mulutnya masih terkatup. Tak lama kemudian, Georji mundur,

"Lepaskan dia. A masih berkeliaran. Tidak ada tato di punggung tangan kanannya." Keino mengerutkan dahinya,

"Bagaimana kau tau A memiliki tato di punggung tangan kanannya?"

"Kau perlu mengecek kembali salinan memori milik Miss Brell yang sudah dibentuk menjadi hologram oleh--"

"Olehku," sahut seseorang di belkang Georji. Avizo membulatkan mata melihat siapa yang ada disana. Pria dengan badan tegap, bertopeng, dan memiliki mata berwarna emas.

"M-m-mister... Ros?" Yang disebut mengalihkan pandangan dan menyipitkan mata, tanda ia tersenyum di balik topengnya. Mr. Ros kembali menoleh pada Georji, mereka berjabat tangan,

"Terima kasih kerjasamanya, Ros. Akan lebih baik jika kau ikut andil dalam menangkap A."

"Urusan ini sepenuhnya milik pihak berwenang di dunia militer. Secara tidak langsung, mau tidak mau, aku akan ikut andil walau hanya menangkap bau si pembunuh gila itu." Mereka melepas jabat tangan, Keino segera melepas borgol di tangan Avizo. Ia sedikit malu karena telah menghajar pemuda itu disaat hari pertama penangkapannya.

"Baiklah, aku akan mengantarkannya kembali ke rumah. Lain kali, selidiki lebih jauh dulu sebelum menangkap seseorang atas sebuah kasus," sindir Mr. Ros pada Keino.

Avizo pun pulang bersama Herfle dan Mr. Ros menggunakan jasa karpet terbang. Avizo akhirnya merasa tenang, ia tidak sabar segera bertemu dengan Istran, Maya, dan teman temannya. Namun, ada yang mengganjal setelah datangnya Herfle.

"Herfle, apa yang dilakukan Nazir? Sampai sampai nyawanya akan terancam? Bahkan nyawaku pun dipertaruhkan." Herfle diam, ada keheningan sejenak di udara kala itu.

"Maaf, Avizo. Hanya Nazir yaang berhak mengatakannya. Aku tidak ingin menyebarkan privasinya." Avizo paham, ia hanya menganggukkan kepala dan kembali diam.

0oo0

1063 words

Voment yuuk..
See you..

Kota YadgaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang