Chapter 2 ▪ Suara

30 18 15
                                    

Chapter 2 ▪▪▪ Suara

Seperti biasa, setiap tanggal genap, diadakan jam olahraga, semua siswa Akademi Lano mengikutinya, hanya saja dipisah per kelas, teritorial masing masing pun cukup luas karena lapangan beserta halaman Akademi Lano memang banyak mengingat pelajar disana tidak sedikit.

Di barisan belakang, terlihat Avizo, Jeyfir, Reo, dan Nazir. Mereka sedikit bersenda saat mengikuti senam jasmani. Namun, Nazir yang kelewat pendiam hanya mengikuti alur senam tanpa banyak bicara, paling mentok menyunggingkan senyum.

"Avizo! Reo! Jeyfir! Nazir! Keluar dari barisan, lari keliling lapangan sepuluh kali!!" perintah Mister Xan yang melihat mereka bermain main mengikuti senam. Nazir agak kesal karena harus ikut, padahal dia sudah melakukan senam dengan benar dan teratur namun, karena satu geng dengan para pemuda pemuda itu, ia harus kena imbasnya. Hal seperti ini sudah sering kali terjadi, mendapat hukuman bersama sama adalah makanan mereka setiap hari. Bukannya empat pemuda tersebut adalah siswa bandel dan tidak mematuhi aturan tetapi, mereka hanya ingin menikmati masa muda dengan penuh cerita menarik yang kelak dapat menjadi bahan dongeng.

"Baik, mister. Tolong jagakan Altharliya dari semut," ujar Avizo, membuat Mister Xan mengerutkan alis, sedangkan Liya terkekeh mendengarnya. Mereka pun keluar barisan dan mengikuti perintah sang guru.

Bukannya serius, Avizo dan Jeyfir malah berlari lari dengan membentangkan tangan, seolah merasa bebas. Reo dan Nazir menggelengkan kepala melihat kelakuan dua sejoli itu.

0oo0

Jam olahraga selesai, semua siswa memilih menuju kantin untuk mengisi perut. Liya, Gefarea, dan Vhinta memesan jajanan khas Kota Yadgara yaitu, Xchyl (bacanya sil), kue tepung berbentuk bundar agak tebal yang kenyal dan berisi gula merah muda yang kadar manisnya paling rendah daripada gula lainnya. Mereka sangat menikmati jam istirahat dengan canda tawa.

"Kelakuan kakak kembarmu dan teman temannya itu tidak pernah berubah ya?" ujar Vhinta pada Gefarea yang kerap dipanghil Rea.

"Yah, bagiku Reo memang selalu begitu, sangat susah diatur, apalagi harus berteman dengan pangerannya Liya," timpal Rea

"Siapa pula pangeranku??" tanya Liya dengan menukikkan alis mencoba menampilkan tampang berpikir. Rea dan Vhinta memutar bola mata secara bersamaan.

"Siapa lagi kalau bukan aku?" ujar seseorang, ketiga gadis tersebut pun menoleh mendapati Avizo duduk di meja kantin sambil menyedot minuman dingin di tangan kanannya.

"Wah, ada pangeran ...," celetuk Liya terkekeh

"Pangerannya letih setelah berlari keliling lapangan sepuluh kali," timpal Avizo

"Siapa pula yang menyuruh kau tidak serius saat pelajaran olahraga."

"Tidak ada, hanya saja, aku ingin serius kepada kau seorang." Kalimat klise yang bisa dikatakan oleh siapa saja namun, tetap saja kalimat itu berharga bagi Altharliya Svena Tarpen.

"Apa kau juga tidak serius di pelajaran akademik?"

"Serius,"

"Bukannya kau hanya akan serius kepadaku?"

"Begini, Altharliya Svena Yandasa--"

"Heh!! Kenapa ada nama Yandasa di namaku?" tanya Liya diikuti kelehan ringan.

"Belajar adaptasi, karena tahun tahun setelah kita lulus dari akademi, namamu akan berubah menjadi seperti itu," jawab Avizo, ia mendengar tawa kecil dari bibir manis Liya, pemuda itu tersenyum dan melanjutkan kalimatnya,

"Sekarang, aku jelaskan mengapa aku harus serius di pelajaran akademik," pemuda itu berdeham sejenak, "di pelajaran akademik, ada pelajaran matematika yang berguna untuk menghitung waktuku dimana tidak ada dirimu di dalamnya, lalu akan aku hitung juga berapa berat rindu yang dihasilkan selama satu jam, setelahnya, aku akan mengkakulasikan berapa waktu yang harus terbayar untuk beratnya rindu itu,

Lalu, ada pelajaran sains yang mempelajari tentang organ organ tubuh dan alam. Di pelajaran organ tubuh, aku serius karena mungkin aku bisa mempelajari bahasa hati, siapa tau bisa mengobrol banyak dengan hatimu. Dan di pelajaran alam, aku mau lebih dekat dengan semua yang ada di alam, siapa tau angin dapat menghembuskan setiap kalimat rindu yang aku ucapkan untukmu, juga--"

"Bukannya olahraga juga dapat membuatmu sehat agar hitungan waktu dan berat rindumu menghasilkan sedikit waktu yang harus dibayar? Bukannya olah raga juga membuatmu selalu sehat agar kau selalu ada di sampingku?" ujar Liya, Avizo membulatkan mata, menatap gadis di depannya dengan raut terkejut.

"Liya ...," telinga Avizo memerah, "semenjak kapan kau mahir membuat jantungku berdegup kencang?" Avizo terlihat menahan senyum yang membuat raut wajahnya terlihat sangat lucu. Liya terkekeh,

"Mungkin, setelah aku mengatakan kalimat ini," Liya menatap Avizo dengan senyum jahil, "aku mencintaimu."

Avizo meneguk salivanya kasar, wajahnya merah sempurna, senyum yang tertahan membuatnya semakin menggemaskan. Pemuda itu berdiri tegap dan berlari keluar kantin sembari berteriak,

"ALTHARLIYAAAAAA!!!!" Yang namanya dipanggil hanya tertawa dan menggelengkan kepala melihat tingkah Avizo.

0oo0

Diluar kantin, pemuda bernetra biru kelam itu membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada lutut, ia tengah mengatur nafas, degup jantungnya pun terdengar berpacu tak karuan. Ia hanya sendiri di halaman belakang akademi. Tidak ada Jeyfir, Reo, maupun Nazir yang selalu ada di sampingnya. Pemuda itu menegakkan tubuh, memasukkan dua tangannya ke dalam saku, merasakan semilir angin yang berhembus.

Kota Yadgara adalah kota dimana ia memulai rangkaian memori manis yang patut dikenang. Tentang semua yang ada disana, termasuk Liya. Sebenarnya, pemuda itu juga bingung mengapa hatinya jatuh pada gadis sederhana yang mempunyai paras manis itu. Bahkan, hanya dengan memikirkannya saja, Avizo merasakan degup jantungnya berpacu semakin cepat.

Tiba tiba, terdengar suara hentakan kaki yang cukup keras dari luar dinding akademi, dari suaranya saja, dapat dipastikan banyak yang tengah berlari disana. Avizo mengerutkan alis. Ada apa?. Pemuda itu menajamkan pendengaran, karena tidak mungkin ia memanjat dinding kokoh yang tinggi itu hanya untuk melihat keadaan diluar.

Tidak ada sorakan yang mengarah pada hal hal kriminal. Avizo sempat mengira itu adalah suara hentakan kaki para prajurit pertahanan karena irama hentakannya. Hingga indra rungunya mendengar sorak panggilan dari luar,

"Jenderal Rilfer!"

Seketika, ada perasaan yang tidak bisa dijabarkan oleh Avizo sendiri, ia juga tidak tahu mengapa hatinya seolah menyuruhnya melihat apa yang terjadi diluar, bahkan ada rasa ingin bertemu orang yang bernama Jenderal Rilfer itu. Sekejap, ada sekelebat memori yang menampakkan genangan darah di suatu rumah yang bahkan tidak dikenali Avizo.

Kelebat kenangan yang selalu hadir diantara mimpi mimpi panjang Avizo. Tentang seorang wanita yang tergeletak di lantai dapur dengan genangan darah, juga seorang pria yang menggenggam sebilah pedang berdiri tak jauh dari jasad si wanita.

Avizo tidak tahu mengapa mimpi itu selalu datang bahkan tidak hanya sekali namun, berkali kali.

0oo0


Kota YadgaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang