Chapter 18 ▪▪▪ Rilfer
Angin malam kala itu menerpa wajah seorang pemuda yang tengah berdiri di atap padepokan. Ada rasa yang mengganjal di hatinya. Netra merah itu menatap gamang langit gelap tanpa bulan. Hawa dingin pun tak dirasa semenjak ia menemukan sahabatnya tergeletak lemah sampai sekarang. Hingga pemuda tersebut berbalik hendak kembli ke kamarnya.
Tak ada lagi kilat semangat di antara manik merahnya, tidak ada kilat ambisi di setiap jengkal kalimat yang dilontarkan. Ia merasa gagal. Nazir hampir tidak dapat diselamatkan.
"Ini bukan salahmu, anakku." Ujar Hoggle yang berada di belakangnya, mereka sama sama menatap tubuh Nazir yang masih terbaring di ranjang tanpa ada kemajuan.
"Master, Nazir pasti akan bangun, bukan?" Hoggle menyempatkan tersenyum pada salah satu muridnya yang gelisah itu.
"Herfle, apa kau percaya takdir? Ini adalah salah satu kejadian yang sudah ditakdirkan unuk Nazir. Aku tidak ingin memberimu harapan dengan mengatakan Nazir Dexendro akan siuman dalam waktu dekat."
"Apa kata healer lokal yang master panggil kemarin-setelah tenaga master terkuras banyak?"
"Dalam penjelasan klinis, Nazir tidak akan siuman dalam jangka waktu satu tahun. Perlu banyak energi untuk memulihkan keadaannya yang saat itu berada di ambang kematian. Namun lagi lagi, aku tidak ingin mendahului takdir dengan menyerahkan kemampuanku hingga batas akhir hanya untuk membuat Nazir siuman." Ada keheningan yang memuncak, secuil rasa gundah dan gelisah yang sudah ada di relung hati Herfle kian bertambah.
"Aku akan meneruskan langkah Nazir," ucap Herfle penuh tekad. Hoggle hanya tersenyum
"Jangan melakukan hal gegabah, Herfle. Aku tahu kau mempunyai ambisi dan tujuan yang sama dengan Nazir, tetapi emosi kalian sedikit berbeda, Nazir masih dapat menutup emosinya dengan baik, lain denganmu yang selalu mengedepankan emosi. Aku tidak ingin membandingkan karena kalian sama sama murid terbaik yang aku sayangkan. Jaga dirimu baik baik, Herfle Jirrigonnes."
0oo0
Rilfer tengah menerobos hawa malam yang merasuk, ia berhasil membaca keseluruhan kasus A dengan bantuan Georji. Ada rasa kecewa di hatinya saat satu satunya darah daging yang tersisa kini tinggal si pembunuh berantai yang belum ditemukan jejaknya. Memang benar, Rilfer keukeuh pada instingnya yang mengatakan bahwa Ryzgher masih hidup, tetapi setelah sekian lama melakukan pencarian di seluruh penjuru, putra sulungnya itu tidak berhasil ditemukan dan harapan satu satunya kini terletak pada anak bungsunya.
Rilfer sedikit berkilas balik, anak bungsunya ini lah yang membuat keretakan hubungan antara Rilfer dan istrinya, dimana Zaxcha--sang istri--menyembunyikan perihal kelahiran anak bungsu tersebut karena anak itu hilang atas kecerobohan Zaxcha.
Rilfer masih mengingat detail bagaimana marahnya ia saat Zaxcha mengungkapkan semua dalam kondisi Ryzgher berusia 16 tahun. Berbulan bulan ia tidak pulang dari markas untuk meredam emosi sekaligus mencari cari anak bungsunya. Pikiran kepala prajurit Kota Palva itu tengah kalang kabut, hingga ia lupa bahwa anak sulungnya masih butuh dirinya.
Masih Rilfer ingat bagaimana Ryzgher menjadi sangat dingin saat ia kembali pulang, anak sulungnya seakan baru kenal ayahnya dan bersikap seolah Rilfer adalah tamu yang singgah dan akan pergi.
"Maafkan ayah, nak. Ayah salah." Hari itu adalah puncak ia menyesali semua kesalahannya. Ia mengingat semua misi pencarian Ryzgher di Kota Yadgara, semua prajurit yang mengatakan bahwa Ryzgher telah ditemukan malah meregang nyawa di tangan A. Mungkin, semua prajurit itu salah mengira A adalah Ryzgher yang sudah tiada setelah ia bunuh diri di jurang. Mereka sedarah daging, tentu saja A mirip dengan Ryzgher.
Rilfer kembali mengingat bagaimana sebuah tragedi terjadi, tentang Zaxcha yang tebunuh di tangan Yal saat ia pulang ke rumah. Hal itu membuat Rilfer mau tidak mau berada di sisi istrinya yang terbujur kaku, ia menarik pedng yang menghunus perut sang istri untuk dibaringkan di sebelahnya. Naas, Ryzgher yang baru pulang dari akademi saat itu salah paham dan mengira Rilfer lah yang membunuh Zaxcha.
Flashback
Ryzgher menatap nanar ayahnya yang bersimpuh di sebelah jasad sang ibu. Ada rasa tidak ingin percaya bahwa Rilfer lah yang membunuh Zaxcha. Pemuda itu segera berlari keluar dari rumah dengan pikiran kalang kabut, begitu pula Rilfer yang langsung mengejar sang anak dengan pikiran kalut namun, ia melihat dari ekor mata bahwa anak buah Yal masih mengejarnya. Dengan segera ia mengambil beberapa pisau kecil di laci dan menyusul anaknya.
Aksi kejar kejaran mereka sampai pada hutan belantara, Rilfer tidak kesulitan karena ia tahu betul denah dari hutan ini sayangnya, Rilfer dihalangi oleh beberapa pasukan Yal yang bersikukuh mengincarnya. Rilfer berhasil melukai bagian vital para lawannya dan segera berlari maju. Namun, semua terlambat, ia melihat anak sulungnya berdiri membelakangi jurang tepat di perbatasan daratan.
"Ryzgher, ayah mohon, jangan lakukan hal gegabah..!!" sentak Rilfer yang emosinya tengah memuncak. Ryzgher yang melihat ayahnya berlumuran darah dan memegang erat senjata merasa kecewa. Mereka berada dalam jarak 10 langkah.
"Ayah.. ibu bahagia, bukan?" Semua suara teredam, telinga Rilfer hanya mendengar suara lirih anaknya. Pria itu tidak buta untuk melihat beberapa lebam di wajah Ryzgher. Sontak, alisnya bertaut.
"Ryzgher... wajahmu.. ? Ada apa?"
"Ayah.. apa ayah yang membunuh ibu?" Suara itu terasa seperti menusuk dada Rilfer dari depan,
"Tidak, Nak. Bukan ayah! Yal yang membunuhnya..!" Ryzgher mencerna kembali kalimat Rilfer, sosok pria tangguh di hadapannya ini bukanlah pembohong yang ulung, dia pun tidak pernah sekali pun berbohong pada Ryzgher.
"Ayah ingin aku percaya karena selama ini ayah tidak pernah berbohong padaku--arghh!!!" Ryzgher mengerang karena dadanya tertusuk pisau.
"Bangsat...!!! Kemari kau, Bajingan...!!!" Rilfer segera melangkah lebar ke depan berusaha meraih tangan Ryzgher agar tidak jatuh, tetapi semua usaha itu nihil, Ryzgher sudah jatuh ke dalam jurang, Rilfer yang kalang kabut dan tidak dapat mengontrol emosinya segera menyusul melompat ke jurang jika dua anak buahnya tidak menarik,
"JENDERAL..!! JANGAN MELOMPAT..!!" Mereka berhasil menarik Rilfer menjauh namun, Rilfer sudah dikuasai emosi, ia menyentak kedua anak buahnya, ia pergi ke batas jurang dan meneriakkan nama anaknya dengan keras. Rilfer yang memang manusia murni hanya bisa menangis, ia menyesali apa yang terjadi seolah olah dirinya lah yang membuat kekacauan ini. Ia juga tidak bisa menggunakan sihir karena Rilfer sudah bersumpah untuk tidak menekuni sihir setelah tragedi kematian ibunya karena sihir hitam.
Dengan langkah lebar, Rilfer segera berbalik dan mengejar anak buah Yal yang berhasil menusuk dada Ryzgher, ia menghajarnya tanpa ampun, bahkan Rilfer hampir membuatnya sekarat jika dua anak buahnya tidak menghentikan.
"Jenderal, kau bisa dihukum atas tindak penghakiman tanpa pihak berwenang..!!!" ujar salah satunya
"BODOH..!! Aku juga pihak berwenang! Bagaimana bisa aku membiarkannya hidup setelah membuat putraku tiada..!!!" Rilfer menghentikan aksinya melihat anak buah Yal tersebut dikelilingi kunang kunang merah muda. Ia terkekeh sejenak.
"Tidak. Tidak mungkin Ryzgher mati hanya karena tertusuk dan masuk ke dalam jurang. TIDAK!!. Ryzgher cukup kuat..! Dia tidak akan-"
"Kita urus pencariannya mulai malam ini, Jenderal."
Flashback off
Rilfer menukikkan alis, ada sebuah kepercayaan.
"Tidak. Tidak hanya A. Tapi ... Avizo...? Ya, Avizo perlu dipertanyakan!"
0oo0
Gimana chapter 18? Kayaknya udah mau selesai ceritanya..
See you..
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota Yadgara
FantasyBlurb Avizo Yandasa, pemuda biasa yang masih duduk di bangku akademi. Sosok yang sangat ceria, bersahabat, dan konyol. Hari harinya dipenuhi dengan kebahagiaan dengan orang tua beserta teman temannya. Namun, semua seolah musnah setelah adanya kasus...