Rasyid Arroland
Hari yang aku tunggu-tunggu telah tiba. Tapi entah kenapa aku merasa dilema, antara senang atau sedih. Aku merasa senang karena ini merupakan hari final aku melaksanakan hukuman dari Abi. Namun di waktu yang bersamaan aku juga merasa sedih.
Bagaimana tidak, aku sudah terlanjur mencintai tempat ini, tempatku mengabdi selama delapan tahun. Meski aku sendiri merupakan anak dari pengasuh Pondok pesantren, jujur aku lebih suka di tempat ini. Di tempat ini, aku banyak belajar tentang kehidupan. Tempat yang masih Asry, dengan nuansa keagamaan yang begitu kental.
Meski sama-sama pondok pesantren, namun pesantren milik Abi sudah mulai sedikit modern. Sekolah umum seperti MI, MTS dan MA sudah bersatu menjadi satu dilingkungan pesantren. Namun di sini berbeda, di pesantren tempatku mengaji hanya fokus pada kegiatan mengaji saja. Jika ingin bersekolah, mengharuskan aku untuk keluar dari lingkungan pesantren.
S1 ku sudah lulus tahun kemarin. Semenjak kelas dua SMA sampai lulus kuliah aku harus berjuang menempuh jarak yang lumayan jauh. Bolak-balik dari pesantren ke tempat sekolah tanpa fasilitas yang selalu kedua orang tuaku berikan. Alhasil aku hanya menggunakan transportasi umum. Tapi aku sangat menikmati masa-masa hukumanku meski tanpa ada benda pipih yang tak pernah lepas dari genggamanku.
Dan Alhamdulillahnya aku mulai terbiasa dan tidak bergantungan lagi sama ponsel dan juga Si hijau kesayanganku. Si Ijo bukan kolor ijo maksudnya, tapi dia motor kesayanganku yang aku tinggalkan pas dia sudah ringsek. Bukan berarti aku termasuk habis manis sepah dibuang, atau juga kacang lupa kulitnya. Tidak, bukan itu, aku sempat ke pikiran sih sama keadaannya pas aku tinggalkan dulu. Tapi bagaimana lagi, karena memang sehabis aku kecelakaan, Abi dan Umi langsung membawaku kemari.
Mungkin mereka sudah Taubat dengan kenakalanku, sampai-sampai urusan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Malah mereka serahkan kepada teman seperjuangannya. Memang Abi dengan Kyai ku adalah teman pas menyantri dulu. Tak salah abi mempercayakan anaknya kepada orang lain, karena berkat Beliau aku mulai mengubah diri.
Meski pendidikanku telah usai, namun Abi masih tetap menghukumku, agar aku tetap mengabdikan diri di tempatku mondok selama tiga tahun. Dan dengan senang hati aku menyanggupi, karena aku memang betah di tempat ini. Jika dulu dari kecil aku memang paling anti dengan lingkungan pesantren, maka dari itu aku memilih hidup dengan nenek dari Umiku. Memilih hidup bebas mengenal dunia luar.
Jika berbicara tentang hukuman, aku merasa malu kepada diriku sendiri. Masa laluku yang kelewatan brutal. Berkali-kali pula aku telah mempermalukan abi. Hingga pada suatu tragedi kecelakaan yang menimpaku. Meski itu tidak separah rivalku, tapi secara tidak langsung akulah yang menyebabkan rivalku terluka parah. Semenjak itulah abi menjadi lebih tegas kepadaku, dan memaksaku menuruti perintahnya.
Aku bisa dihukum begini hanya karena seorang wanita. Entah bisa dibilang cinta monyet, karena aku menyukainya sejak duduk di bangku SD. Bisa juga dia cinta pertamaku, karena sampai sekarang namanya sulit untuk di hapus dibenaku. Benar kata orang jika cinta pertama itu paling berbekas. Dan aku mungkin telah merasakannya.
Asma Almira Mustafa, dialah gadis pemilik senyum yang manis. Gadis yang telah membuatku tergila-gila.
"Sid."
Aku buru-buru menyelipkan foto di sela-sela buku diariku. Terserah mau dibilang kayak anak cewek tidak apa-apa. Lebih baik aku menuliskan segala rasaku di buku diari, dari pada harus menulisnya di surat. Jika ketahuan malah mendapatkan takziran. Lagi pula aku tulis surat mau dikirim ke siapa? Toh orangnya juga tidak ada di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu dari Gus Rasyid
RomanceBagaimana jadinya jika harus dipertemukan lagi dengan manusia yang bernama 'MANTAN'. Bertemunya kembali bukan hanya sekedar pertemuan biasa, tapi pertemuan ini akan membuat mereka terus terikat dalam sebuah ikatan pernikahan. Rasyid Arroland, seoran...