"Nduk nanti buatkan tumis pare, ya! Soalnya anak lanang umi mau pulang, dia sukanya makan tumis pare. Dijamin nanti dia bisa nambah makan sampai lima kali, kalau ada tumis pare. Umi minta tolong, ya?" Umi nyai Khoiriyah mengelus punggungku sebelum pergi.
"Nggeh Umi." Aku menunduk takzim.
Setelah kepergian Umi nyai Khoiriyah, aku langsung bergegas mengambil sebungkus sayur pare yang berisikan tiga buah di kulkas. Baru pertama kali, aku memasak sayur ini. Selama aku mondok tak pernah sekalipun aku melihat sayur ini ada di kulkas.
Lebih dari setahun aku tidak pernah sowan ke pondok pesantren tempat mengajiku dulu. Karena bertepatan mulai hari ini sedang libur panjang di tempatku bekerja, yang kebetulan sedang di renovasi. Jadi aku putuskan untuk silaturahmi ke Ndalem Kyai Lutfi. Sekaligus melepas kangen bersama teman-teman yang masih setia mengabdikan diri di sini.
Entah, bisa dibilang hari ini hari keberuntunganku. Sang Gus yang selalu menjadi topik pembicaraan para santri akan pulang. Gus yang dikenal sangat kontroversial bagi santri-santri di sini. Akhirnya untuk pertama kalinya, aku diberi kesempatan untuk melihatnya. Sebenarnya takut dosa, tapi itu semua terkalahkan dengan rasa penasaran.
"Bel!" aku menoleh ke mbak Azizah yang berjalan mendekatiku, penampilannya sudah terlihat lebih segar dari yang sebelumnya.
Mbak Azizah merupakan abdi dalem yang sudah lama, sangat jauh jika dibanding denganku yang hanya mengabdi dua tahunan saja. Sampai sekarang pun dia tidak pernah malu jika dibilang perawan tua, dengan umurnya yang sudah mendekati 30 tahun, tapi masih gadis. Meski sudah ada pria yang melamarnya silih berganti, tetap dia tolak. Dengan alasan masih ingin mengabdikan diri kepada guru, mengharapkan keberkahan dari melayani gurunya.
"Aku sudah cantik, belum?"
"Memang, Mbak mau ke mana?"
"Ditanya malah balik nanya." Mbak Azizah memanyunkan bibirnya. "Tapi, gimana? Udah pas belum, buat nyambut Gus Rasyid."
"Emang Mbak yang ditugaskan untuk nyambut Gus Rasyid?"
Mbak Azizah malah meringis. "Enggak juga sih. Tapi siapa tau, kan? Dia ngelirik."
"Mbak yakin mau dilirik, sama Gus Rasyid," kataku meremehkan, dan benar dugaanku. Seperti biasa dia akan langsung berkacak pinggang, jika sering aku bantah perkataannya.
Mbak Azizah merupakan fans fanatik Gus Rasyid garis keras. Mungkin itu alasannya, kenapa dia lebih memilih mempertahankan status kegadisannya dari pada menikah.
"Kamu ini, ya. Bisa gak sih, sehari saja gak usah bantah. Tapi udah lama juga sih, gak debat sama kamu, aku jadi kangen."
Mbak Azizah malah berubah memelukku, hingga tak sadar dengan keberadaan seseorang yang sudah terpaku menatap kami berdua. Aku yang baru menyadarinya langsung membulatkan mata, terkejut karena tatapan kami langsung bertemu.
"Maaf mengganggu kesenangan kalian," suara lembut khasnya, yang masih sulit aku lupakan.
"Eh, ada Gus tho. Ngapunten, Gus. Ada yang bisa saya bantu." Mbak Azizah berbicara dengannya, sedangkan aku hanya sibuk menunduk. Menetralkan rasa sesak yang tiba-tiba muncul kembali.
"Zah, to...." Belum sempat dia selesai berbicara seseorang datang di balik tirai yang menjadi penutup pintu, yang menghubungkan dapur dengan ruang makan keluarga pesantren.
"Mas, air panasnya mana?" Suara perempuan yang terdengar sama lembutnya, yang tak lain istrinya. Salah satu putri dari Kyai Lutfi.
"Masih mau buat, sayang. Sayang tunggu di dalam ya, temani anaknya. Kasihan ditinggal sendiri."
"Iya mas. Eh ... ada Bella. Kapan kamu datang?" Ning Rahma yang semulanya ingin kembali masuk, urung ketika baru menyadari keberadaanku.
"Sebelum ba'da Dhuhur, Ning," kataku, masih dengan posisi menunduk takzim.
"Kamu nanti menginap di pondok putri, kan?" kata Ning Rahma yang sudah berdiri di depanku.
"InsyaAllah Ning."
Aku sedikit heran melihat Ning Rahma yang sudah senyum-senyum sendiri. "Bagus kalau gitu. Sepertinya skenario Allah memang indah, ya." Katanya sebelum pergi meninggalkan kebingungan sekaligus penasaran di otakku.
"Zah, tolong buatkan air hangat ya. Buat kompres Afif. Nanti langsung antar ke kamar."
Aku masih melirik punggungnya hingga hilang di balik tirai. Menghembuskan nafas perlahan.
Lelah rasanya jika harus terus-terusan seperti ini. Entah sudah di tahun yang ke berapa sekarang. Tapi sesak itu masih ada. Seperti baru kemarin, aku menelan pil pahit yang selalu aku terima.
Selalu mencintai seseorang, namun tak bisa memilikinya.
Apalah dayaku, yang hanya bisa diam dan selalu mengharapkan kebahagiaan bagi mereka yang pernah singgah di hati.
Jika dulu dia yang diharapkan bisa menjadi pengobat luka lama, namun nyatanya tetap sama. Dia tetap menorehkan luka di akhir cerita.
Mungkin memang sudah takdir seorang Bella Putri Elena, yang selalu tak beruntung dengan cinta. Tapi aku tetap percaya, jika Allah akan memberikan yang terbaik untukku suatu saat nanti.
Setelah urusanku selesai dengan tumis pare, aku langsung keluar dari dapur ingin menuju ke pondok putri. Namun langkahku terhenti ketika melihat pemandangan yang langsung membawa rasa perih ke mata. Di sana, dia sedang menggendong putranya yang sedang sakit di teras samping, yang masih bisa di lihat dari pintu yang menghubungkan pondok putra dengan pondok putri. Sedangkan sang istri terlihat sedang membujuk sang anak untuk mau makan.
Terlihat dia tersenyum, aku jadi ikut tersenyum, meski senyuman itu bukan untuk diriku.
Astagfirullah!
Aku segera melanjutkan langkahku. Ingin segera mandi air dingin, untuk menetralkan pikiranku yang sudah hilang arah kembali. Kebetulan sekali sebentar sudah hampir waktu Shalat Magrib. Jadi aku tidak perlu kembali ke ndalem.
Sebenarnya aku tidak harus membantu di sana lagi, karena aku sudah menjadi alumni. Tapi tidak ada salahnya kan? Kalau aku berniatan membantu.
"Jika hati bisa tau dengan siapa yang tepat untuk tempat berlabuh. Mungkin aku akan menyuruhnya pergi ke orang yang tepat. Jadi tidak akan ada ceritanya, mencintai orang yang salah."
Aku rasa, perkataanku yang dulu masih berlaku untukku. Entah kapan mindset yang aku buat bisa berubah menjadi,
"mencintai dan dicintai olah orang yang sama." Jadi tak akan ada lagi ceritanya, cinta sendiri.
Bersambung....
Budayakan tinggalkan jejak ya!
Jangan lupa like dan komen
Follow akunku juga ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu dari Gus Rasyid
RomanceBagaimana jadinya jika harus dipertemukan lagi dengan manusia yang bernama 'MANTAN'. Bertemunya kembali bukan hanya sekedar pertemuan biasa, tapi pertemuan ini akan membuat mereka terus terikat dalam sebuah ikatan pernikahan. Rasyid Arroland, seoran...