Para Wanita Banyak Bicara

1.7K 118 2
                                    

Ketika jalan keluar sudah didapat, mau, tidak mau konsekuensi pun harus ditanggung. Sejatinya setiap permasalahan pasti ada solusinya. Namun yang namanya manusia hidup memang tak akan pernah lepas dari yang namanya masalah.

Karena dengan adanya masalah, hidup akan terasa lebih menantang untuk meraih apa yang diinginkan.

Seperti kebahagiaan.

Semoga apa yang aku pilih, akan di Ridhoi oleh Allah SWT. Sejenak aku bisa beristirahat memikirkan perjodohan yang telah ditentukan Abi. Meski beliau pasti kecewa, tapi tetap aku akan berterima kasih karena telah memberiku kesempatan.

"Maaf, Gus. Ada pemasok barang yang datang. Mereka membawa barang pesanan Gus."

"Mereka di mana kang?"

"Di pintu samping, Gus."

"Iya sudah kang, lanjutin perkerjaannya. Saya yang akan menemui mereka."

Kang Anam keluar dari ruangan yang aku tempati. Dia merupakan salah satu santri yang sudah lulus di pondok pesantren milik Abi. Dan saat ini dia bekerja bersamaku. Usaha yang aku miliki bisa terbilang receh. Baru tiga bulan aku merintisnya. Hanya sebuah mini market kecil-kecilan. Bermodalkan dari motor kesayangan yang harus aku relakan untuk dijual.

Alhamdulillah, selama sebulan terakhir penjualan di toko semakin lancar. Letaknya yang memang strategis berada di tengah keramaian.

"Mas yang lainnya pakai sarung, kok masnya beda sendiri."

Aku tersenyum mendengar perkataan mbak-mbak yang mengirimku beberapa barang yang kebetulan di toko sudah habis. Memang wajar sih seorang sales itu harus banyak bicara, kalau tidak pintar berbicara mana mungkin dia bisa menawarkan barang dagangannya. Ya mungkin termasuk berbicara hal lain selain produk yang dia jual. Termasuk masalah sarung.

"Mereka habis di sunat mbak, dan belum kering."

Mbaknya tertawa, sambil mengibaskan rambutnya yang terurai sebahu. "Astaga, masnya ini ada-ada saja, ya!"

"Kalau enggak percaya, bisa langsung tanya ke mereka."

"Gila kali, mau tanya hal begituan," dia memukul lenganku dengan nota di tangannya. "Mas, lucu juga ya."

"Maaf mbak saya bukan pelawak."

"Iya, iya saya juga sudah tahu."

Kirain!

"Masnya, yang punya toko ya?"

Aku mengangguk sambil melihat temannya yang sedang menurunkan barang dari mobil Box.

"Kok tumben masnya yang terima barang, biasanya karyawannya?"

Aku menoleh dan menghela nafas, sungguh butuh ekstra kesabaran untuk menangani gadis yang cerewet plus satu lagi, kepo.

"Lagi ingin saja mbak. Kemarin-kemarin ingin mengajarkan mereka dulu, biar bisa hendel kalau pas enggak ada aku. Pas awal-awal baru buka, aku juga langsung turun tangan. Kebetulan salesnya bukann mbak, kalau enggak salah Dani namanya."

"Iya dia resign mas, dan aku yang menggantikan dia. Eh, iya. Masnya jangan panggil mbak dong. Saya masih muda kalau di banding mas, baru lulus sekolah. Panggil Nada saja juga boleh."

Salam Rindu dari Gus RasyidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang