Sekali, pernah aku langitkan satu nama. Nama yang sulit aku hapus, meski waktu berjalan berusaha mengikisnya perlahan. Aku coba untuk mengikhlaskan, dia yang tak lagi bisa aku harapkan. Perlahan tapi pasti, namanya memudar bersama kenangan -kenangan yang menguap diterpa angin kerinduan. Membuatnya tersudutkan, di bagian hati yang terdalam, yang tak mungkin bisa lagi muncul ke permukaan.
Namun, takdir seakan mempermainkanku. Waktu menyeretku kembali berada di dekatnya, memaksaku untuk selalu melihatnya. Bukan membuat kenangan bersamanya kembali, namun kali ini kita berada di satu atap yang sama, di mana aku dan dia sudah berbeda. Bukan berarti mimpi yang dulu kita impikan menjadi nyata. Melainkan aku dan dia, sama-sama menjadi pendatang baru di keluarga yang sama. Status kita sama, sebagai menantu di keluarga yang terhormat.
Aku terduduk lesu, di ruang makan Ndalem. Meneguk segelas air sekali tarikan nafas, untuk menetralisir gejolak hati yang mulai menyeruak.
“Dek, kamu harus bahagia sekarang. Maaf, jika Mas dulu pernah mengukir kenangan pahit. Membuat luka yang sulit terlupakan. Percayalah, seiring waktu kamu akan menjadi wanita yang paling bahagia, karena memiliki pria seperti dia. Cintailah dia, sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri. Jangan pernah sesali apa yang terjadi, meski kamu harus terpaksa.”
Itu perkataannya barusan, saat kita berpas-pasan. Suara lembutnya yang menenangkan, lagi-lagi membuatku kecewa dengan takdir. Takdir yang tak pernah berpihak dan memaksa memisahkan. Aku tahu, pengharapan ini salah dan tak seharusnya aku masih mengharapkan memiliki sosok seperti dia. Sedangkan Allah sudah menghadirkan sosok yang jauh berbeda dengannya.
Apa yang harus aku lakukan, yang nyata memaksaku berada di sampingnya sedang keindahan yang semu menari-menari di depan mata. Akankah aku bisa menerima pernikahan ini dengan ikhlas? Hidup dengannya, orang yang sudah membuatku melupakan cinta butaku padanya dulu.
Haruskah aku mencintai luka yang pertama? Dan berdamai dengan dunia.
“Bel!”
Aku tersentak kaget saat pemilik luka yang pertama sudah duduk di depanku. Kursi yang awalnya di sampingku dia putar, hingga menghadapku. Bisa-bisanya aku tak menyadari kedatangannya.
“Maaf, Gus. Ada apa?” tanyaku, berusaha setenang mungkin agar tidak terlihat gugup.
“Masih mau di sini?”
Aku masih menimang-nimang untuk menjawab pertanyaannya. “Eee.... kenapa?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Kalau kamu masih mau di sini, ya udah aku temani.”
Aku memilih diam dan dia juga ikut, hingga menciptakan suasana hening di antara kami. Aku melihatnya fokus menatap ponselnya, dengan satu tangan yang menyanggah dagunya. “Apa, Gus menerima pernikahan ini?” Kuberanikan melontarkan pertanyaan yang sudah tiga hari terakhir menggangguku.
Dia menatapku tajam cukup lama, membuatku langsung merutuki pertanyaan bodoh yang baru saja terlontar dari mulutku.
“Apa aku juga harus punya alasan menerima pernikahan ini?"
Otakku lalu dipaksa untuk berpikir keras, mencari alasan yang tepat dan jika boleh bisa melepaskan tali yang telah mengikat antara kami. “Setidaknya, Gus menikah dengan orang yang dicinta oleh, Gus.”
“Lantas, bagaimana jika itu kamu orangnya?”
Aku terpaku mendengar jawabannya yang tidak masuk di akal, terlihat jelas dia sedang membual. Aku tertawa hambar, tawa yang seminggu lebih tak pernah menghias bibirku lagi. “Ternyata kamu belum berubah ya, sama seperti dulu.”
“Jika aku seperti dulu, seharusnya kamu tetap seperti dulu juga. Tapi, kalau boleh meminta, jangan pernah ingat apa yang telah terjadi. Jika nantinya akan membuat luka lama menganga kembali. Memang terkadang pengharapan tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi yang nyata bisa menjadi yang diharapkan suatu saat nanti.” Dia tersenyum miring khasnya. “Sepertinya kita sudah lama berada di sini. Tidak baik jika membuat tamu kita menunggu lama.”
Dia berdiri, lalu mengulurkan tangannya kepadaku. “Ayo, tadi para santri mencarimu. Ingin mengajak foto bersama. Mereka menunggumu dari tadi.”
Tak ada niatan untuk tidak menghargainya, namun hati terasa masih enggan untuk berinteraksi dengannya. Aku memilih berdiri sendiri, tanpa menerima uluran tangannya. Namun aku tak menyangka, dia malah menarik tanganku lalu digenggam erat olehnya.
“Gus!” kataku hendak melayangkan protes, namun dia segera berbalik dan menghadapku.
“Kenapa? Salah, ya? Cuma pegang tangan, tidak lebih.”
Akhirnya aku yang kalah, tidak bisa menolak perbuatannya. Lagi pula dia benar, hanya sekedar berpegangan tangan, kan? Tidak lebih.
Kurang dua langkah dari pintu dia berhenti. Melepaskan genggamannya dan beralih mengalungkan tanganku di lengannya. Seraya membisikkan sesuatu. “Kalau mau lebih, bisa nanti malam.”
“Gus!” Aku tak bisa protes lagi. Ingin kulepaskan rangkulanku di lengannya, malah dia tahan dengan tangannya. Tak hanya itu, dia berjalan sedikit cepat, membuatku harus memegang erat lengannya karena takut terjatuh.
Aku semakin malu, kala banyak para santri menyoraki kami yang sedang berjalan. Aku yakin mereka melihat kami sedang uwu-uwuan. Padahal kenyataannya tidak semanis yang mereka lihat.
Jangan lupakan juga, para santriwati yang menatap kagum pria di sampingku. Mata mereka berbinar seolah melihat seorang artis tampan yang terkenal. Bahkan ada yang histeris tanpa bersuara, kala Gus pujaannya tersenyum kepada mereka. Tak salah memang, pesona seorang playboy masih mendarah daging di dirinya.
“Seharusnya kamu bangga bisa memiliki aku, tanpa harus mengejarku.”
Aku menatapnya tak mengerti, sedangkan dia sibuk memperhatikan para tamu di depan pelaminan kami. Aku merasa aneh saja, di bagian mananya yang harus aku banggakan? Sedangkan aku belum bisa melihat hal yang harus aku banggakan.
Bersambung...
Jumpa lagi dengan saya.
Jangan lupa ⭐, komen, dan juga follow aku ya
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu dari Gus Rasyid
RomanceBagaimana jadinya jika harus dipertemukan lagi dengan manusia yang bernama 'MANTAN'. Bertemunya kembali bukan hanya sekedar pertemuan biasa, tapi pertemuan ini akan membuat mereka terus terikat dalam sebuah ikatan pernikahan. Rasyid Arroland, seoran...