“Le.”
“Enggeh, Umi.” Aku menghentikan langkahku yang baru keluar dari kamar mandi.
“Istrimu, mana?”
Aku terkesiap mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Umi. Sedangkan posisiku habis dari kamar mandi, tidak mungkin juga kan, aku membawanya masuk ke kamar mandi bersama. “Paling, udah tidur Umi.”
“Kasihan dia belum makan dari tadi sore. Acaranya hari ini padat sekali, pasti dia capek sekali, sampai lupa makan. Kamu bangunin, gih. Suruh makan dulu atau kamu bawa makanan saja buat dia.”
Astagfirullah! Umi perhatian sekali sih sama anak orang, anak sendiri saja enggak ditanyain. Padahal aku juga belum makan.
“Kok malah diem, buruan sana.” Umi sedikit mendorongku.
Aku menghembuskan nafas secara pasrah. Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, aku yakin Bella tak akan mau untuk makan malam.
Aku duduk di sisi ranjang memandangi tubuhnya yang memunggungiku. Teringat kembali dengan kejadian saat diriku memergokinya berbicara dengan mas Ali, saat aku mencari keberadaannya. Arah pembicaraan mereka mengenai masalah yang tak pernah terpikirkan sedikit pun di otakku. Hatiku semakin bertanya-tanya, sedekat apa hubungan mereka dulu? Kenapa mas Ali berkali-kali meminta maaf kepadanya?
Namun kenyataan yang aku lihat, bukan hanya kedekatan. Melainkan masih ada rasa dalam hati Bella, yang terlihat dari sorot matanya saat memandangi mas Ali. Aku tidak habis pikir, bagaimana perempuan sepertinya bisa menyukai suami orang, apalagi dia suami kakakku sendiri.
“Gus, aku tahu ini sulit bagimu menerima perjodohan ini. Tapi tolong, jangan sia-siakan dia. Dia sudah cukup menderita dengan luka hatinya. Mas mohon, bahagiakan dia. Setelah ini, dia akan menjadi bagian dalam hidupmu, jagalah dia baik-baik.” Aku mengingat kembali perkataan mas Ali sewaktu dalam perjalanan ke rumah Bella, sewaktu acara lamaran. Aku kira awalnya dia sedang menasihatiku, mengingatkan tentang perbuatanku dulu, yang sering menyia-nyiakan Bella. Apa mungkin, perkataan itu juga ditujukan kepadanya, yang pernah menyia-nyiakan Bella.
Aku memijit-mijit pelipis yang terasa berdenyut, memikirkan banyak hal yang tidak bisa aku mengerti, membuat kepalaku sakit. Apalagi perkataanku kepadanya sewaktu di meja makan, itu memang sebuah kebohongan. Sampai detik ini rasa itu belum bersemayam juga di hati.
Aku takut mengecewakan Abi dan Umi, yang sudah bahagia dengan pernikahan ini. Jika suatu saat nanti, pernikahan ini tak seperti yang mereka inginkan.
Aku mendekati tubuhnya, “Bel!” panggilku seraya memukul pelan lengannya.
Terdengar gumanan dari tubuh di bawahku, sedetik kemudian dia berbalik dan langsung membuka matanya.
Deg
Pandangan kita bertemu dengan jarak yang begitu dekat, wajahnya tepat berada di bawah wajahku. “Khem... kamu lapar nggak? Aku lapar, kita makan yuk.”
Dia hanya merespons dengan mengerjabkan matanya beberapa kali, membuat perutku sedikit tergelitik melihat kesadarannya yang belum terkumpul penuh.
“Aku lapar, mau makan,” bisikku di telinganya, sekaligus berniat menggodanya.
Terbukti, dia langsung bangun dan duduk sambil menatapku tajam.
“Apa sih yang kamu pikirkan. Sepertinya otakmu sudah terkontaminasi, sama omongan para santri, ya?” kataku sambil mengacak kerudungnya.
Memang aku tadi tak sengaja mendengar beberapa santri yang menggodanya saat di make-up. Aku merasa lucu saja, melihat wajahnya yang langsung memerah ketika di goda.
“Ayo, suamimu ini sedang lapar. Aku mau makan,” kataku sambil turun dari ranjang dan melambaikan tangan kepadanya.
“Makan apa, Gus?” tanyanya dengan sinis, tapi masih sopan.
“Makan nasi lah, apa perlu aku makan kamu?”
“Gus!” Dia sudah melotot.
“Sttt... udah tengah malam, nanti ada yang dengar. Dikira kita lagi....”
“Gak denger... aku gak denger...,” katanya sambil berlalu mendahuluiku, dengan tangan yang menutupi telinganya.
Aku tertawa sambil mengejarnya. Dia benar-benar berubah, tak seperti dulu. Dia yang dulunya selalu menempel ke mana pun aku pergi. Jangankan aku goda, aku tersenyum saja dia sudah tergila-gila. Tapi itu dulu.
Saat sampai di ruang makan, aku sudah melihat sepiring nasi yang dia ambilkan untukku. “Kamu gak makan, Bel?”
“Sudah malam, Gus. Aku enggak pernah makan malam.”
“Pantesan kayak lidi. Ayo... aaa....” kataku seraya menyodorkan sesuap nasi kepadanya. “Ayo, pahala loh ini."
Perlahan namun pasti, dia menerima suapanku. Setelahnya hanya keheningan yang menemani kami berdua dan dengan aku yang bergantian menyuapinya.
“Enak, ya?” kataku, setelah suapan yang ke sekian kalinya.
“Biasa saja. Masih sama seperti kemarin rasanya.”
“Ayo, yang terakhir kali.”
Dia menggeleng, “Sudah kenyang, Gus.” Namun aku tetap memaksanya, hingga dia mau membuka mulut lagi. Tetapi aku memutar haluan dan memasukkannya ke mulutku sendiri. Dia menatapku tak percaya, dengan apa yang aku lakukan barusan.
“Gus!” aku sudah terbiasa dengan nada protesnya saat memanggilku.
“Tadi katanya biasa saja, tapi kok doyan,” kataku, kemudian berlalu pergi meninggalkannya, membiarkannya meluapkan emosi karena aku jahili.
Ini salah satu caraku, Bel. Aku bukan dia, yang bisa berkata lembut kepada semua wanita. Aku dengan segala kekuranganku, yang masih belum mencintaimu. Tapi yakinlah, jika suatu saat rasa itu pasti akan bersemayam di hati kita.
Bersambung....
Assalammualaikum
Berjumpa lagi dengan author
Jangan lupa kasih ❤, terus komen, dan subscribe
Dan juga, follow akunku.
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu dari Gus Rasyid
RomanceBagaimana jadinya jika harus dipertemukan lagi dengan manusia yang bernama 'MANTAN'. Bertemunya kembali bukan hanya sekedar pertemuan biasa, tapi pertemuan ini akan membuat mereka terus terikat dalam sebuah ikatan pernikahan. Rasyid Arroland, seoran...