Lebih Baik Dicintai

1.1K 77 2
                                    

Jika ditanya, apakah hati ini sudah ikhlas menerima pernikahan dadakan ini? Jelas tidak. Di mana semua keperluan pernikahan sudah di atur, tanpa melibatkan aku sedikit pun. Mereka tidak ada yang bertanya, apa yang aku inginkan di hari istimewaku. Aku seperti seorang Raja yang kehilangan haknya, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu apa bedanya aku dengan budak, yang menuruti seluruh kemauan tuannya.

Tapi kembali lagi, aku tidak punya nyali untuk sekedar membantah mereka atau melayangkan protes. Apalagi mereka ke dua orang tuaku.

“Aduh, mantennya lagi berantem, ya? Kok jaga jarak terus dari tadi. Masak kalah sama truk, truk aja gandengan.” Fotografer yang disewa keluargaku terlihat pasrah karena tidak bisa menemukan posisi yang pas sedari tadi.

Aku juga bingung harus bagaimana. Kalau perlu, sesi pemotretan bisa dihilangkan. Tapi ya gimana lagi, di moment yang bersejarah malah tidak di abadikan. 
K

an, enggak seru jadinya.

Ngapunten, Gus. Bisa merapat sedikit.”

Aku mengikuti arahannya, menggeser sedikit tubuhku lebih dekat ke Bella.

“Sedikit lagi, Gus.” Perintahnya sambil melambaikan tangan, seperti juru parkir.

Hingga yang ke tiga kalinya, aku sudah tak tahan karena disuruh bergeser sedikit demi sedikit. Langsung saja, aku tarik pinggang Bella hingga tubuhnya menempel ke tubuhku. Para tamu undangan yang menyaksikan perbuatanku, langsung bersorak heboh.

“Gus! Ngapunten, tolong lepasin dulu,” kata Bella, sambil menyikut pelan perutku.

Aku menatap matanya yang berada di bawah wajahku. “Ini demi kebaikan kita.”

Biar saja terdengar konyol, yang penting aku ingin sesi pemotretan ini cepat selesai. Kakiku rasanya sudah terasa pegal sampai mau copot, karena berdiri terlalu lama.

“Maaf Ning, tangannya tolong di taruh di dada suaminya.” Fotografer memberi instruksi lagi untuk pose foto yang selanjutnya.

Tak ada pergerakan dari wanita yang sudah berhadapan denganku, hingga aku tak sabar menarik tangannya, lalu meletakkan di dadaku.

“Gus!” dia melotot seakan tidak setuju dengan perbuatanku.

“Diamlah, ikuti saran Mas Fotografer. Biar cepat selesai. Apa kakimu tidak sakit, berdiri terlalu lama. Kalau masih kurang, kamu lanjut berdiri saja nanti. Enggak usah duduk sekalian.”

“Tapi kan, tidak harus sedekat ini, Gus.”

“Oh... kurang ya?” bukannya menjauh aku malah semakin mendekatkan wajahku ke wajahnya. Tujuanku, ingin membuatnya tidak berbicara lagi dan terbukti, dia langsung diam membatu seperti patung.

Sudah tahu, kan? Sifatku bagaimana. Aku tidak suka jika terus-terusan diprotes, maka jangan salahkan aku, jika aku berubah semakin usil. Bukan berubah menjadi jahat, ya!

“Gus!” dia protes kembali dan aku kembali memajukan wajahku bersamaan dengannya yang menjauhkan wajahnya.

"Ya, Bagus. Tahan!" Instruksi dari fotografer.

Aku tersenyum menggodanya, melihat wajahnya yang sudah bersemu merah. Saat aku tatap sedekat ini. Bella yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Di mataku sekarang dia terlihat lebih pemalu dan tidak seagresif dulu.

Saat dia protes kembali, aku kembali melakukan hal yang sama. Namun berbeda dari yang sebelumnya, dia langsung menutupi wajahku dengan kedua tangannya sambil berpaling.

“Alhamdulillah, sudah.”

Aku dan dia sama-sama menoleh ke arah mas fotografer. Masih dengan posisi yang sama, aku yang memeluknya pinggangnya erat.

“Posenya terlihat sangat natural,” katanya, sambil tersenyum misterius. “Bisa istirahat dulu Gus, sekalian itunya boleh di lepas,” sambil tersenyum menggoda.

Refleks aku melepaskan tanganku. Aku rasa dia juga sama gugupnya denganku, karena kami berdua langsung salah tingkah dan jadilah kami bahan bual-bualan para tamu undangan.

“Selamat ya, Gus. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah Mawadah Warahmah dan selalu dalam naungan-Nya.” Aku menerima pelukan dari Afan.

Aku yakin dia sekarang tertampar dengan sikapnya yang suka meremehkan orang lain. Dari sikapnya yang ingin mencium tanganku barusan, aku yakin dia merasa malu. Tapi aku tak suka jika orang lain mengagung-agungkan diriku, jadi itulah mengapa aku selalu menolak orang yang ingin mencium tanganku. Termasuk dia.

“Terima kasih, semoga kamu segera dipertemukan dengan jodohmu.” Lebih tepatnya, mendapatkan pengganti Bella., yang sudah menjadi istriku.

“Terima kasih, Afan. Sudah mau datang dan mendoakan kami.” Bella menangkup kedua tangannya di depan dada.

Afan tersenyum kepada wanita di sampingku yang sudah berstatus menjadi istriku, sebelum pergi dan berganti dengan tamu undangan yang lainnya, yang menunggu giliran untuk bersalaman dengan kami.

Sejenak aku berpikir, memikirkan rencana lamaran Afan yang sudah pasti gagal. Bukannya aku cemburu, karena ingin tahu lebih banyak tentang Bella dengan Afan.  Apalagi niatan Afan yang harus pupus sebelum berjuang, aku tidak ikut andil di dalamnya. Aku bukan penikung di antara mereka. Aku saja, masih merasa ini seperti mimpi yang panjang tapi terasa nyata dalam tidurku.

Andai Afan jadi melamar Bella dan menikahinya, akankah Bella bisa bahagia? Bukankah, lebih baik dicintai daripada mencintai. Daripada yang sekarang, Bella harus terikat denganku. Di mana di antara aku dan dia, tak ada setitik rasa cinta di hati masing-masing.

Aku yakin Bella bisa hidup bahagia, bersama orang yang mencintainya. Dari pada denganku yang selalu menyakitinya.

 

Bersambung....


Jangan lupa, kasih ⭐ buat aku. Tinggal klik aja, ok!
Komen dan juga Follow. Akunku ya!

 

Salam Rindu dari Gus RasyidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang