Melamar Masa Lalu

1.1K 85 3
                                    

Pertemuan kembali, yang selalu berkesan.

Entah, kenapa Allah malah menakdirkan dirimu, yang selalu aku campakkan. Kini akan menjadi bagian dalam hidupku.

**

Aku menatap lesu wajahku di cermin. Tak ada gairah sama sekali. Entah sudah yang ke berapa kali aku menghembuskan nafas pasrah. Nasib seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tuanya, harus rela melakukan perintah mereka, meski hati tidak sejalan.

Di luar, suara orang-orang sudah heboh, mempersiapkan acara lamaranku hari ini. Berbeda denganku yang tidak ingin mengeluarkan sepatah kata pun. Terlalu malas, mengingat mereka yang terlalu memaksakan kehendak. Berat rasanya harus menerima perjodohan ini, apalagi dengan orang yang tak pernah aku kenal.

“Sid,” suara Mbak Ami memanggilku sambil menggedor pintu.

“Apa Mbak?”

“Kok lama buka pintunya, aku kira kamu sudah kabur.”

Kalau bisa, aku udah kabur dari tadi Mbak.

“Sudah selesai kan? Semuanya sudah siap mau berangkat.” Aku mengangguk lemas. “Ya, udah ayok buruan.”

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, merenungkan apa yang harus aku lakukan setelah ini. Bukan karena grogi, tapi lebih tepatnya aku tidak ingin pertunangan ini terjadi. Aku takut, jika semua sudah terjadi, aku masih belum bisa memberikan apa yang seharusnya calonku dapatkan. Seperti perasaanku, meski sekarang masih kosong tak berpenghuni, tapi tetap saja akan sulit untuk meluluhkannya.

Aku merupakan tipikal orang yang susah jatuh cinta. Tapi jangan salah paham, kenapa aku dulu bisa memiliki banyak pacar bahkan bisa lebih dari satu secara bersamaan. Karena merekalah yang memaksa ingin menjadi pacarku. Namanya juga pria, jika melihat wanita yang memohon pasti tidak akan tega. Tapi sepertinya cuma aku, yang tidak tega.

“Gugup ya, Gus.”

Aku hanya bisa tersenyum yang terpaksa kepada Mas Ali, di balik kemudi.

“Sudah biasa Gus. Aku awalnya juga gugup kayak Gus.”

“Sayang sekali ya, aku melewatkan pernikahan Mbak-Mbakku semua.”

“Salah siapa, jadi anak kok bandel. Kan, jadinya di asingkan.” Perkataan Simbah membuat para penghuni mobil langsung menertawakanku, bahkan tak ayal mereka juga membulyku.

“Ya, itu ya Mbah. Masih kecil udah rebutan cewek. Belum juga pinter buang ingus, mau pacar-pacaran.”

“Sok jagoan, tapi nangisan.”

“Aku masih ingat, Rasyid pas nangis enggak mau nyantri.”

Aku mendengus, kesal dengan Simbah dan Mbak Rahma yang sangat kompak menertawakanku. Berbeda dengan pria kalem yang duduk di sampingku, dia hanya tersenyum mendengar para wanita di jok belakang yang heboh.

“Betah ya Gus, dipondok.”

Aku tersenyum ke arah Mas Ali yang melirikku sekilas, “Alhamdulillah mas, betah. Sebetulnya enggak pengen pulang. Masih mau ngabisin umur di sana. Tapi berhubung Abinya keburu pengen punya mantu cewek, ya jadinya pulang.”

Salam Rindu dari Gus RasyidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang