Ternyata ....

74 9 0
                                    


Setelah pertemuanku dengan Rendy, komunikasi kami terus berlanjut bahkan bisa dibilang cukup intensif. Kami terbiasa berkomunikasi via chat Whatsapp.

Menurutku, Rendy memang orang yang sangat bersahabat. Bahkan aku merasa nyaman ketika berkomunikasi dengannya. Hanya saja, aku belum berani untuk langsung menembaknya dengan pertanyaan, 'Kak Rendy, kapan mau menikah? Apakah Kak Rendy berpacaran? Tipe wanita Kak Rendy seperti apa sih? Bisakah kita menjalin hubungan yang serius?' Oh my God! Yang pasti, semua pertanyaan itu akan membuatku menggigil setelah menanyakannya pada Rendy.

Aku sudah merencanakan untuk menanyakan beberapa hal tersebut, tetapi tidak dalam waktu dekat. Bayangkan saja, kami baru saja berkenalan satu bulan yang lalu dan aku sudah berani menanyakan hal seperti itu. Mungkin baginya, itu seperti rudal yang jatuh mendadak dan menuju sasaran yang salah. Memang, kami pernah membicarakan hal pribadi seperti itu. Tetapi seolah Rendy enggan bicara terlalu banyak. Kurebahkan tubuh yang semakin berat ini pada kasur milikku yang masih setia dengan kenyamanannya. Siang ini baru saja aku mengadakan pertemuan dengan dosen pembimbing skripsiku. Kabar bagus bahwa dua puluh halaman pembahasan skripsiku hanya direvisi seperempatnya saja. Itu berarti aku memiliki waktu lebih banyak untuk menambah jumlah halaman pembahasan skripsiku.

Pikiranku bercabang menjadi dua fokus, antara target skripsiku dan rencana masa depanku setelah lulus. Memang, pikiranku lebih tertuju pada skripsiku dan kapan aku akan melaksanakan sidang akhir perkuliahan, tetapi Rendy juga menjadi bayangan di belakang itu semua.

Nada ponselku berdering, segera kuangkat panggilan dari nomor yang tak kukenal itu.

"Halo?" sapaku.

"Ya, halo. Ini Karin?"tanya sebuah suara berat.

"Ya, saya sendiri. Maaf ini dengan siapa?"

"Hey, ini gue Rendy! Gue pake telepon dari rumah nih."

WOW, is it a dream?

"Ohh, hey! Ada apa, Kak? Kok tumben telepon nih?" tanyaku, siapa tau dia hanya iseng. Tetapi biarpun iseng, aku senang. Haha!

"Enggak boleh telepon ya?"

"Ya boleh aja kali!"

"Hehe, nggak kok, aku mau tanya sesuatu sama kamu, Rin!"

DEGDEGDEG.

"Tanya apa? Free for asking! Pay for answer! Hahaha ...," kataku bercanda.

"Ohh ... jadi kalau nanya gratis, tapi kalau kamu jawab aku harus bayar? Boleh deh!"

"Bercanda kali, Kak! Kenapa nih?"

"Sabtu ini ada acara nggak?"

DAGDIGDUG. PLAK! Pipiku terasa perih, karena tamparanku sendiri.

"Umm ... ada nggak, ya? Nggak, Kak! I'm free this Saturday! Emang kenapa?"

"Good! Mau temenin pergi ke toko buku ga?"

Aaaah ... toko buku! That's my favorite place! Pasti Rendy menanyakan banyak hal tentang diriku pada Mas Handi, termasuk tempat favoritku. Ya, pasti dia punya ketertarikan padaku. It's unbelievable!

"Mau banget, Kak! Kebetulan gue juga ada rencana beli novel baru buat koleksi," jawabku antusias.

"Wow, kebetulan banget ya? Bagus deh! Ya udah nanti Sabtu pagi aku jemput di rumah ya?"

Jemput di rumah?! Rasa panas mulai menjalar ke seluruh tubuh, bahkan ponselku terasa panas di telingaku.

"Emang masih inget rumah gue, Kak?" tanyaku dengan nada datar.

[END] An Ending OvercastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang