Surat untuk Langit

37 4 0
                                    


Wahai langit, bolehkah aku bercerita di malam hari yang dingin ini? Bisakah aku menumpahkan semua perasaan yang terdapat di dalam hatiku saat ini? Aku tak tahu harus bercerita pada siapa. Mungkin Allah sangat tahu apa yang aku rasakan. Hanya saja aku tak memiliki teman untuk mencurahkan isi hatiku ini. Bolehkah wahai langit malam yang mendung? Aku akan terus bercerita meskipun kau tak mengizinkanku.

Wahai langit, tahukah kamu apa yang sedang terjadi padaku? Tentu kau tidak tahu. Tetapi dirimu yang mendung dan tak ditemani sinar sangat mewakili apa yang sedang aku rasakan. Wahai langit, apakah kau pernah jatuh cinta? Satu kali saja, apakah kau pernah? Aku sedang mengalami itu, mungkin, aku tak yakin. Apakah memang aku terlalu cepat untuk merasakan hal itu? Tetapi hati ini terus bergejolak dan tak karuan ketika sedang jatuh cinta. Mungkin kau akan merasakan hal itu jika kau memiliki hati.

Ya, mungkin aku sedang jatuh cinta. Sebuah perasaan yang selalu melanda tiap manusia. Kini, usiaku sudah beranjak 23 tahun, masa peralihan menuju kedewasaan sempurna. Wajar jika cinta datang dan menghampiri hatiku. Tapi aku bingung, karena meski cinta selalu datang, kemudian ia pergi begitu saja. Ia tak pernah meminta izin untuk tinggal di hatiku lebih lama. Ia selalu pergi tanpa pamit dan meninggalkan bekas, tetapi bukan luka, hanya kehampaan. Sebuah ruang kosong yang dahulu dipenuhi oleh asa yang tinggi. Hatiku selalu seperti itu, sejak dahulu pertama kali mengenal cinta. Cintaku tak pernah bersambut. Lalu aku berpikir bahwa mungkin itu bentuk penjagaan Allah agar aku tidak terjerumus pada cinta yang tidak-tidak. Tetapi kini, aku sudah dewasa, aku dilanda kerinduan yang amat sangat. Namun aku belum mengerti cinta seperti apa yang benar-benar akan menyambut kerinduanku.

Aku tahu, saat ini, aku merasakannya. Sebuah cinta yang baru saja datang menghampiri. Awalnya dan sekarang, masih aku mengharapkannya. Tetapi mulailah kecemasan dan keragu-raguan itu datang sejalan dengan tingginya harapan yang menjulang. Apakah memang belum saatnya? Aku terus berpikir, tetapi hatiku tersiksa menahan kerinduan itu. Apakah aku kembali dimanipulasi oleh cinta, seperti diriku yang sebelumnya?

Wahai langit, aku sangat kebingungan. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku terlalu khawatir oleh sesuatu yang belum terjadi. Aku tak ingin menjadi pengkhianat. Aku tak ingin menyembunyikan sesuatu yang menyakitkan pihak lain, meskipun sebenarnya aku pun sedang terluka oleh sesuatu yang tak pasti. Namun, asa yang begitu tinggi ini sedang terjun, entahlah apa ia akan terhempas, atau justru kembali mengepakkan sayapnya.

Aku terus menunggu dan berharap. Namun, cinta selalu membiarkanku menunggu tanpa kepastian. Aku begitu rapuh. Apakah memang belum saatnya tiba? Sehingga aku harus menunggu lebih lama? Namun bukan itu yang aku khawatirkan. Aku masih cemas dengan sesuatu yang mungkin terjadi, yaitu ketika cinta itu beralih bukan menujuku, tetapi kepada yang lain. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan jika hal itu terjadi. Hati ini masih penuh oleh harapan yang tinggi akan cinta itu. Lalu jika kemudian, cinta ini justru datang pada orang lain, yang juga sedang menunggu, apa yang akan terjadi padaku? Aku tahu, cinta sejati tak akan pernah salah mendatangi hati yang ditujunya. Tetapi bisakah ada sesuatu yang menolongku melepaskannya tanpa tersisa? Ya Allah, wahai Pemilik Kerajaan Langit! Aku memohon padaMu, jangan biarkan hati ini terluka dan hampa meskipun ia harus menunggu lebih lama.

Wahai langit, terima kasih karena sudah mendengarkan ceritaku ini. Kau tahu, saat awal aku bercerita padamu, hatiku terasa panas bergejolak. Tetapi kini angin sudah meniupnya sehingga terasa sejuk. Terima kasih, wahai langit! Aku harap, kau tidak pernah bosan mendengarkanku bercerita. Terima kasih kuucapkan sekali lagi.

***

Kalau ini curhatan Karin yang dia ketik di laptopnya ya :D

[END] An Ending OvercastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang