Time to Stalk

56 6 0
                                    


"Kariiiin....! Congrats ya, Say! Akhirnya lulus juga!" teriak Raisha sambil berlari ke arahku yang baru
saja keluar dari gedung dekanat. Ia menciumi pipiku seperti adik kecilnya saja.
"Thanks ya, Sha! Ini berkat doa lo juga!" kataku sambil mencubit pipinya yang mirip seperti mochi.
"Doain aku juga ya, semoga aku bisa nyusul kamu secepetnya!"

"Sip! Sip!"

Teman-teman sekelasku yang sejak tadi menungguku dan teman-teman yang juga melaksanakan sidang pun ikut mengucapkan selamat atas kelulusan kami semua.

Huff, akhirnya hari-hari yang kutunggu telah berakhir sore ini. Sialnya, aku adalah peserta ujian sidang yang terakhir. Sejak tadi siang kepala bagian kiriku sudah berputar tidak seimbang. Keringat dingin terus bercucuran dari dahiku, entah berapa lembar tisu yang sudah kubuang hasil perasan keringatku hari ini. Ya ampun, aku sudah menebang berapa pohon di hutan hanya gara-gara tisu yang kupakai untuk keringatku?! Sudahlah, aku harus bersyukur karena Allah sudah melancarkan ujian sidangku hari ini sehingga aku mendapat gelar sarjana plus gelar pengangguran, meski belum resmi karena aku belum mengikuti wisuda.

Smartphone milikku berdering nyaring di tengah keramaian suara hingar bingar kelegaan kami mengikuti ujian sidang. Sebuah panggilan datang dari rumah, itu pasti Mama.

"Ya, Halo?"
"Gimana ujian sidang kamu, Sayang?" suara lembut tapi panik menyapaku.
"Sukses, Ma! Aku udah jadi sarjana sekarang. Makasih buat doanya ya Ma! Tolong bilang juga sama Papa, sama Dimas juga buat semua dukungan dan doanya," kataku bangga.

"Alhamdulillah.... Selamat ya, Sayang! Kita dari tadi deg-degan nungguin hasil ujian sidang kamu. Kita tunggu di rumah ya!"

"Tenang, Ma! Semuanya udah beres sekarang, Alhamdulillah! See you, Ma! I love you all!"

Syukurlah, hari yang melelahkan ini telah berakhir. Artinya aku harus siap untuk menjelajahi petualangan baru sebagai pengangguran. Aduh!

Aku diberi waktu dua bulan untuk melakukan revisi terhadap hasil penelitianku sebelum pelaksanaan wisuda. Berarti aku masih harus berada di kampus. Lagipula, aku belum mau beranjak dari kampus tercintaku. Rencana untuk melanjutkan studi ke S2 pun terlintas dalam benakku. Akan tetapi, aku tidak ingin orangtuaku mengeluarkan biaya untuk sekolahku kembali, apalagi adikku, Dimas, juga baru menjadi mahasiswa baru. Itu berarti aku harus mencari peluang beasiswa penuh jika aku ingin melanjutkan studiku. Lalu, bagaimana dengan rencanaku terdahulu?

Menikah?!

***

"Eh Rin, gimana rencana kamu yang dulu?" tanya Raisha sambil melahap potongan tenderloin steak ke dalam mulutnya.
"Yang mana?" tanyaku balik, pura-pura tidak tahu.
"Ahh! Masa lupa? Married lah!"
"Ohh! Hmm, gimana ya? Gue masih nyari target selanjutnya, Sha! Lo punya kenalan yang udah
mapan enggak?" tanyaku serius.
"Siapa yaa? Pamanku, mau? Tapi usianya udah hampir 40-an, haha!" jawaban Raisha membuatku
tersedak.
"Ah, lo mah kira-kira aja! Gue kagak mau yang jauh-jauh amat usianya, paling lebih tua lima tahun lah!"

"Nggak tau tuh! Nggak ada mungkin!"

"Ah payah! Lo sih beruntung, kalau lo udah lulus langsung nikah pun, oke! Gian kan udah lulus, udah kerja, baik pula. Sini, Gian buat gue aja! HAHAHA!"

Bibir Raisha yang kecil seketika itu membulat, "Enak aja!"

Suara tawaku memecah keheningan suasana restoran steak sore itu. Aku menutup mulutku. Aku paling senang kalau sudah melihat wajah Raisha yang kekanak-kanakan itu semakin terlihat seperti anak TK yang permen lollipopnya direbut karena keisenganku. Atau membuat wajah putihnya berubah jadi semerah buah cherikarena tersipu-sipu malu.

[END] An Ending OvercastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang