Malam begitu dingin menusuk kulitku. Ia mampu menembus hingga hati dan membuatnya beku. Kadang luka kecil itu terbuka kembali tanpa diminta. Bayang-bayang kejadian beberapa bulan lalu kembali menghantui jiwaku yang masih sepi dan dingin ini.
Adam memang tidak menghubungiku lagi setelah itu. Apakah mungkin ia mengurungkan niat itu karena persyaratan serius yang kuajukan padanya? Aku tidak pernah ingin main-main dengan masalah hati. Oleh karena itu, keputusan untuk tidak berpacaran sebelum menikah pun, aku buat jauh-jauh hari ketika aku mulai beranjak di semester empat pada masa kuliahku.
Aku tahu, mungkin hati ini sedikit berharap padanya yang terlalu banyak membuat perasaan ini terombang-ambing. Aku bisa saja menghubungi dirinya, tetapi aku tak mau dan kubiarkan saja semua waktu mengalir hingga menjawab semua rasa penasaranku selama ini.
Aku telah menceritakan semuanya pada Jingga beberapa hari setelah ia mengunjungi rumahku. Akan tetapi, ia menyarankan untuk meminta langsung pada Allah agar mendapatkan jawaban yang terbaik. Di malam yang dingin dan sunyi ini, aku bersimpuh pada-Nya memohon akan banyak hal yang tak pernah aku ketahui bagaimana akhirnya. Meski sulit, aku memaksakan diri ini untuk mendekatkan diri pada-Nya melalui shalat malam. Shalat malam adalah obatku satu-satunya yang bisa membuatku hatiku tenang. Curhatku pada Allah di malam seperti ini membuatku mudah untuk menangisi akan banyak hal, dosa-dosa yang terus mengalir, begitu pula dengan doa-doa yang juga tak pernah berhenti kupinta. Diri ini begitu rapuh seperti daun-daun kering yang mudah tertiup oleh angin.
Kehampaan dalam ruang hatiku masih belum terobati. Akan tetapi, aku hanya yakin satu hal bahwa Allah tahu yang terbaik. Oleh karena itu, aku hanya berharap yang terbaik untukku. Aku yakin semua itu akan indah pada waktunya, meski aku harus terus menunggu.
Ya, semua akan indah pada saatnya ....
***
Sore itu awan mendung kembali menghiasi langit di atas rumahku. Aku menatapnya di balik jendela kamarku. Ada pemandangan yang membuatku terpana. Awan mendung belum meraih ujung langit sebelah barat. Warna jingga keemasan menjadi latar belakang langit di sana. Lembayung sungguh terlihat indah di senja hari ini. Kilauan sinar matahari sore muncul di balik celah awan tipis yang mencoba menghalau. Angin lembut bertiup. Aku tersenyum.
Nada ponselku memutar lagu 'Enchanted' dari Taylor Swift, pertanda seseorang tengah menghubungiku. Itu Jingga.
"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ga?" tanyaku.
"Wa'alaikumsalam. Lagi apa, Teh? Mengganggu bentar boleh?" nadanya terdengar seperti menyogokku.
"Lagi merenung aja. Hehe. Boleh banget, haha. Kenapa nih?" jawabku.
"Mau tanya hal pribadi nih, Teh!"
"Tanya apa, tuh?"
"Apa ikhwan yang waktu itu sudah menghubungi teteh lagi? Maaf ya Teh, aku kepo," ujarnya terdengar ragu-ragu.
"Mmh... belum nih. Apa boleh aku tanya sama dia?"
"Mungkin lebih baik ditunggu saja. Tapi teteh harus punya batasan sampai kapan akan menunggu dia. Apa Teteh masih berharap sama dia?"
"Aduh, enggak tau, nih. Kalau ditanya soal itu, aku suka bingung sendiri. Maksudnya, kadang rasa sakit itu sering muncul, jadinya suka sedih atau kesel gitu, deh."
"Ooh, gitu ya. Satu pertanyaan lagi teh, apa saat ini hati teteh membuka ruang untuk membiarkan yang lain masuk?"
DEG. Apa maksud Jingga?
"Apa maksudnya, sih?"
"Hmm ... ada seorang ikhwan yang tertarik dengan teteh, nih."
Serius? Apa Jingga serius? Lelaki mana yang bisa tertarik denganku dan lewat perantara Jingga? Apalagi, aku masih terhitung baru untuk mengaji Islam dan berhijrah. Aku jadi ingin tertawa sendiri. Tepatnya, menertawai diriku sendiri. Hanya saja, Jingga tidak mungkin berbohong, bukan? Perempuan itu terlalu tulus padaku yang baru dikenalnya ini.
"Ikhwan? Siapa?" tanyaku penasaran.
"Maaf teh, saya belum bisa kasih tahu sekarang. Kalau Teteh bersedia, saya akan kenalkan dia sama teteh segera untuk berta'aruf. Gimana, Teh?"
Ya Allah ... Apa yang harus aku jawab? Sedangkan aku sedang menunggu kabar dari Adam. Apa yang harus kulakukan?!
"Aduuuh, Jingga! Kamu tuh ... aku jadi makin bingung ini!" kataku panik.
"Tenang aja, Teh. Teteh bisa jawab kapan aja tapi jangan terlalu lama kayak ikhwan yang itu, ya? Aneh, kok, bisa berbulan-bulan gitu kalau mau ngajakin hubungan yang serius."
Iya juga. Aku juga heran dengan Adam. Ini menunjukkan bahwa Adam memang tidak serius denganku. Apakah aku harus membuka hati bagi yang lain?
"Jingga, mau tanya dulu, dong! Kok, bisa ikhwan itu tertarik sama aku? Aneh. Bisa kasih petunjuk tentang ikhwan itu?" tanyaku penasaran.
"Oke, deh. Saya kasih tahu satu hal tentang ikhwan itu. Dia masih satu kampus dengan kita, tapi dia belum lulus dan sedang dalam proses untuk lulus. Dia tertarik sama Teteh, mungkin karena dari perubahan teteh selama ini."
Lho, kok bisa? Apakah memang ada yang memperhatikan perubahanku ini? Padahal teman sekelasku saja pasti tidak akan tahu akan perubahan yang terjadi padaku. Hanya Adam saja yang tahu, tetapi ini tak mungkin dia.
"Mmh ... Jingga, kasih aku waktu tiga hari untuk jawab, ya? Gapapa, kan?" tanyaku ragu-ragu.
"Oke, gapapa kok, Teh! Nanti saya bilang sama yang bersangkutan. Shalat istikharah aja, Teh! Minta petunjuk yang terbaik sama Allah. Insha Allah tidak akan mengecewakan kaya dulu lagi," jawab Jingga menenangkan hati yang sedang kalut ini.
"Aamiin, semoga bisa benar-benar jelas petunjuknya. Doakan juga, ya? Oh ya menurut kamu, ikhwan ini gimana nih sebelum aku sholat istikharah? Apa pendapat kamu tentang dia? Gak apa-apa kan aku nanya gini?" Aku ingin sekali mengetahui pendapat Jingga terkait dengan ikhwan yang katanya tertarik denganku itu. Setidaknya, aku bisa mendapat rekomendasi atau mungkin sedikit gambaran dari Jingga, yang sepertinya sudah mengenalnya.
"Kalau menurut saya sendiri, ikhwan ini recommended banget buat Teteh. Hehehe ..."
"Really?"
"Yes! I'm sure, Teh!" katanya menekankannya.
Aduh, jantungku semakin tidak keruan saja. Padahal melihat ikhwannya saja belum, kenapa hatiku sudah merasa kalut begini.
"Oke, makasih ya buat kabarnya. Semoga jawaban terbaik bisa aku kasih segera kalau udah dapat petunjuknya. Hehe ...."
"Oke, good luck ya, Teh. Ditunggu kabarnya segera. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam!"
Masya Allah! Apakah jangan-jangan ini adalah jawaban dari doaku selama ini? Hanya saja, aku penasaran sekali dengan siapa sosok laki-laki yang tertarik denganku. Semoga Allah bisa membantuku memberikan jawaban yang terbaik segera mungkin. Aamiin.
Sungguh senja kali ini membuat hatiku terkejut dibuatnya. Aku tahu langit masih mendung tetapi lembayung senja di ujung sana membuat langit terlihat sangat indah. Semoga saja penantianku ini segera berakhir.
***
[Bersambung]

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] An Ending Overcast
Spiritual|| FOLLOW DULU SEBELUM BACA || PART LENGKAP Ini tentang pencarian cinta. . Awan kelabu menggantung di atas langit. Mendung itu bukanlah sebuah kepastian. Mungkin sang hujan akan turun, tetapi mungkin saja ia hanya akan berdiam diri ketika angin ber...