Terlalu Gelap

40 5 0
                                    


Siang ini awan terlalu gelap. Padahal langit di ujung barat masih terlihat terang meski berawan. Awan-awan gelap itu berkumpul dan berarak mengikuti kemana angin bertiup. Dingin. Mungkin hujan deras akan turun sore ini. Aku harus segera pulang.

Dedaunan yang berguguran, tersapu oleh angin yang berhembus kencang, berserakan mengotori jalanan yang tiap pagi dibersihkan oleh petugas kebersihan kampus. Hujan memang belum turun. Akan tetapi, awan-awan itu sedang bersiap-siap menerjunkan pasukan-pasukan airnya. Aku sendiri sebenarnya belum bisa pulang. Hari ini aku dan Raisha akan menemui Adam untuk menyelesaikan transaksi yang belum tunai. Aku sendiri kebetulan baru
saja memberikan revisi skripsiku yang sudah selesai pada pihak perpustakaan fakultas.

Rencananya, kami akan menemuinya di café yang sama tempat kami bertemu pertama kali sore ini. Tak seperti biasanya, aku tidak akan menunggu Raisha. Kami akan pergi sendiri-sendiri karena Raisha tidak ada jadwal kuliah hari ini, sehingga ia akan berangkat langsung dari rumahnya. Sebenarnya, bisa saja aku yang menemui Adam seorang diri, toh aku hanya perlu memberikan bayaran atas jasa desainnya. Hanya saja, karena ini bisnis kami berdua, mau tidak mau Raisha harus juga mengantarkanku untuk menemui Adam.

Aku tahu, hatiku merasa gugup karena akan kembali menemui Adam. Akan tetapi rasa takut akan cuaca gelap seperti ini mengalahkan kegugupan hatiku. Aku sempat trauma mendengar suara angin ribut yang terdengar berisik sekali di telinga, diiringi oleh lebatnya hujas es yang mengguyur kota Bandung saat aku masih SMP. Aku selalu takut ketika alam ini sedang menumpahkan amarahnya. Wajar saja, aku hanya manusia kecil yang tidak memiliki kekuatan dibandingkan dahsyatnya kekuatan alam yang dikendalikan oleh Tuhan.

Mungkin lebih baik aku segera pergi menuju café Oasis sebelum hujan lebat turun. Dengan begitu, tubuhku setidaknya tidak akan kebasahan ketika menemui Adam. Baiklah.

***

Hujan rintik-rintik mulai mengguyur sedikit demi sedikit, perlahan tetapi pasti hingga akhirnya hujan deras pun
tiba. Beruntung sekali, aku tiba tepat di depan teras café ketika bunyi gemuruh menggelegar diiringi hujan deras dan angin yang kencang.

Aku berjalan melewati tangga untuk menuju meja yang sama ketika kami berkumpul. Kilat menyambar. Aku menutup telingaku. Hatiku semakin terperanjat ketika melihat Adam dan Raisha ternyata telah berada di sana, tengah berbincang terlihat akrab. Padahal kami berjanji untuk bertemu satu jam lagi. Mungkin mereka berdua memiliki pikiran yang sama denganku untuk datang kemari sebelum hujan tiba.

Keduanya melihat ke arahku, terkejut.

"Hey, Rin! Udah datang juga?" sapa Raisha yang berdiri menyambutku.

"Eh iya! Gue takut kehujanan nih!"

"Wah, beruntung! Enggak kehujanan kan?" tanya Adam memastikanku yang tidak terlihat basah.

"Iya nih! Udah lama?"

"Umm.... Lumayan sih! Kita juga takut kehujanan makanya kesini duluan," kata Raisha memberi alasan kehadirannya yang lebih awal.

"Iya, kebetulan lagi nggak ada acara juga sih. Eh ternyata Raisha juga udah ada di sini," jelas Adam.

"Ooh...."

"Kamu udah makan? Mau pesen apa?" tanya Raisha.

"Gue mau pesen minuman aja deh. Barusan gue baru makan siang."

Raisha pergi menghampiri pelayan café untuk memesankan minuman kesukaanku. Ia tahu benar apa yang aku suka. Sementara itu, aku duduk di hadapan Adam yang sedang memainkan ponselnya.

Kuperhatikan meja yang ada di hadapanku. Beberapa piring ceper dengan noda-noda sisa makanan tersaji di hadapanku. Beberapa gelas tinggi dengan isinya yang tinggal seperempatnya lagi menunggu untuk
dihabiskan. Aku sejenak menduga sesuatu.

"Dari rumah?" tanya Adam, menunda sesuatu yang ada di pikiranku.

"Ah, nggak! Gue dari kampus!" jawabku.

"Oh, ngapain?"

"Ngasihin skripsi gue ke perpus," jawabku kaku.

"Wah udah siap nih jadi wisudawan?"

"Haha, biasa aja lah."

Raisha kembali. Ia duduk di sampingku dan menghabiskan minumannya yang tinggal sedikit itu.

"Jadi, logo mana yang fix dipilih nih?" tanya Adam, ketika aku mengeluarkan buku catatanku.

"Ohh, kami pilih yang dusty pink itu. Iya kan, Karin?" tanya Raisha memastikan bahwa aku memang benar-benar memilih logo pilihan Raisha. Aku mengangguk saja.

Pelayan pun datang mengantarkan minuman pesananku. Aku mengucapkan terima kasih padanya dan melanjutkan pembicaraan kami.

"Oh, oke deh."

"Thanks banget ya Adam. Semoga dengan adanya logo baru kita ini, bisnis kita semakin sukses ya Rin?"

"Aamiin!"

Kami tertawa-tawa. Aku sendiri hanya memaksakan tawa. Aku masih menduga sesuatu yang tersembunyi di sini. Atau ini hanya perasaanku saja karena sedang mengalami gejala premenstrual syndrome. Entahlah.

"Oh ya, gue lupa!" aku mengeluarkan dompet dan memberikan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan kami.

"Thanks ya Adam!" kataku.

"Sama-sama! Semoga sukses ya bisnisnya!"

"Aamiin. Aamiin!"

Hujan di luar sana masih deras. Langit yang tadi terlalu gelap bagiku kini mulai menjadi sedikit lebih terang. Mungkin ia sedikit telah puas menjatuhkan seluruh bebannya. Aku menghabiskan minumanku sementara Raisha dan Adam tengah bercakap-cakap banyak hal. Aku hanya mendengarkan dan sesekali menimbrung dalam pembicaraan mereka. Aku ingin pulang.

"Eh, hujannya udah surut tuh, pulang yuk?!" ajakku pada Raisha.

"Oh iya. Yuk! Adam, kamu pulang sekarang juga?" tanya Raisha.

"Ehm...iya. Udah beres kan semuanya?"

Kami berdua mengangguk. Kami pun berjalan keluar café setelah membayar menu yang kami beli.

Di depan teras café, kami bertiga berpisah. Adam mengendarai motor besarnya menuju kosannya. Sedangkan aku dan Raisha menaiki angkutan umum dengan jurusan yang berbeda menuju rumah masing-masing. Apakah aku masih bisa menjalin komunikasi dengan Adam ketika urusan kami selesai dengannya?

***
Malam tiba. Begitu sunyi dan dingin terasa menusuk ke bagian terdalam diriku. Aku merenung, memikirkan sesuatu yang tadi mengganggu pikiranku. Suara hujan rintik-rintik mulai terdengar kembali. Tampaknya sang awan belum puas mengeluarkan semua bebannya.

Aku mendengarkan alunan musik box yang sengaja kuputar melalui chanel youtube. Alunan musik box begitu dingin di dalam jiwa yang gelap seperti milikku. Suasana hatiku pun terbawa. Meski jiwaku dingin, namun ada sesuatu yang panas berkecamuk dalam dada. Aku tak tahu mengapa pikiranku terus memikirkan sesuatu yang masih menjadi dugaan bagiku. Sebenarnya perasaan ini telah berkecamuk beberapa hari yang lalu.

Raisha sering bercerita padaku bahwa Adam sering menghubunginya lewat chat facebook. Ia memang lebih banyak menanyakan tentang bisnis kami. Akan tetapi, pernah suatu kali Raisha bercerita padaku bahwa Adam sempat bercerita tentang masalah pribadinya pada Raisha. Entah masalah apa itu. Sejak itulah pikiran dan perasaanku sering berkecamuk, merasakan sesuatu yang panas dari sesuatu yang belum aku pernah sentuh.

Kubuka tirai jendelaku, kutatap langit malam. Begitu gelap dan terlalu gelap. Aku tak bisa melihat indahnya kilauan
sinar bintang, atau terangnya bulan di atas sana. Awan gelap itu terlalu banyak berkumpul untuk menghalau indahnya langit malam dari pandanganku. Padahal biasanya dari jendela kamarku, aku bisa melihat keindahan malam meski gelap.

Aku kembali menutup tiraiku dan duduk di hadapan laptopku. Jari-jemariku sudah siap untuk mengetikkan tombol-tombol abjad untuk mewakilkan apa yang sedang disembunyikan oleh hati ini.

[END] An Ending OvercastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang