•Book 8 | Start Wandering•

98 27 0
                                    

Sinar mentari yang menyilaukan menyapa Alsyna, memaksanya membuka mata. Tuan Putri itu bangun dan mulai memperhatikan sekeliling, merasa asing dengan tempat dia berada. Selama sepersekian detik, aliran informasi merasuki otaknya. Tidak terasa sakit sedikit pun, malah seakan mengisi kekosongan di pikiran Alsyna. Dia termenung ketika mengingat kejadian kemarin.

“Selamat pagi, Tuan Putri.” Alista menyapa tuannya dengan senyum hangat seperti biasa.

Alsyna terenyuh, merasa rindu dengan senyuman hangat Alista di pagi hari. Biasanya Alista akan membangunkan Alsyna di pagi hari, lalu menyapa seperti tadi. Membawakannya sarapan dan menyiapkan kebutuhannya. Akan tetapi, kali ini berbeda. Sekarang mereka—Alsyna, Alista dan Cleine—sedang berlindung di sebuah bangunan setengah runtuh yang masih bisa digunakan sebagai tempat berteduh.

“Pagi, Alista. Di mana Sir. Cleine?” tanya Alsyna karena tidak mendapati keberadaan Cleine.

“Sir. Cleine sedang memastikan keadaan di luar, Tuan Putri.” Alista sibuk mengobrak-abrik barang bawaan mereka, berniat mencari pakaian milik Alsyna. “Sebaiknya Tuan Putri segera membasuh diri lalu sarapan. Saya sudah menyiapkan makanan yang kita bawa dari istana.”

“Baiklah.” Alsyna berdiri lalu berjalan menghampiri Alista yang masih sibuk mencari pakaian miliknya.

Mereka bertiga kini berada di Kota Santos, ibukota Kerajaan Ephemeral. Letaknya lumayan dekat dengan istana kerajaan, sebab itulah kota ini yang pertama hancur. Sepanjang perjalanan Alsyna, yang dia lihat hanyalah puing-puing bangunan yang runtuh serta mayat-mayat iblis maupun manusia. Seperti yang diduga dari seorang Tuan Putri manja seperti Alsyna, sepanjang jalan dirinya histeris. Tak henti menangis dan berteriak setiap melihat darah bahkan mayat. Membuat pelarian mereka menjadi terhambat.

Tak lama setelah Alsyna sarapan dan berganti pakaian, Cleine datang dan membuat mereka terkejut. Alsyna dan Alista hampir tidak mengenalnya karena Cleine memakai jubah hitam bertudung yang menutupi seluruh tubuhnya. Entah dari mana kesatria itu mendapat jubah tersebut.

“Selamat pagi, Tuan Putri.” Cleine melepas jubah yang dia kenakan. “Semuanya, duduk sebentar. Aku mendapat banyak informasi yang harus dibagi.”

Alsyna dan Alista saling pandang, merasa heran dan penasaran. Mereka tetap menuruti Cleine dan duduk dengan nyaman menanti penjelasan Cleine. Sikap Cleine saat ini sudah seperti anak kecil yang mendapat permen dari ayahnya.

“Lihat ini!” Cleine memperlihatkan dua jubah lain yang sama persis dengan miliknya. “Jubah ini kita pakai untuk menyamar sebagai iblis. Kebanyakan iblis yang saat ini menyerang Ephemeral tidak terlalu pintar hingga bisa kita kelabui dengan mudah. Kita hanya harus berpakaian serba hitam dan diam tidak bersuara. Dengan begitu, iblis-iblis itu akan menganggap kita salah satu rekan mereka. Tenang saja, aku sudah mempraktikkannya dan berhasil.”

“Kau apa?!” Alsyna berteriak tak percaya ketika mendengar bahwa Cleine mempraktikkan penyamarannya. “Tunggu. Dari mana kau mendapatkan jubah-jubah ini?”

Cleine membagikan jubah pada Alsyna dan Alista lalu ikut duduk dengan gadis-gadis itu. Cleine terlihat bersemangat setelah beberapa hari ini menekuk wajahnya karena pelarian yang mereka lakukan.

“Kalian tidak akan percaya! Aku bertemu dengan rakyat ibukota yang selamat. Dan mereka berhasil bertahan dengan cara menyamar seperti yang aku katakan tadi.” Cleine sedikit berteriak karena senang akhirnya bertemu dengan manusia selain Alsyna dan Alista.

“Benarkah? Sir. Cleine, Anda mendapat jubah ini dari mereka? Lalu di mana mereka sekarang?” tanya Alista yang ikut bersemangat.

Tentu saja mereka bersemangat. Sejak meninggalkan istana, ketiganya belum bertemu dengan satu pun manusia yang masih hidup. Bahkan ketika melihat bagaimana hancurnya Kota Santos, tidak berlebihan jika menyebutnya sebagai kota mati di mana penghuninya tidak tersisa akibat serangan iblis.

Ephemeral Princess [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang