Bab 3

132 11 1
                                    


16 Februari 2002 05:51 PM

"Sinta!! Lu Sinta kan? Inget gue gak?", ucap pria tersebut.

"Bram!! Hai, apa kabar? Udah lama gak jumpa.", balas Sinta.

Lalu Sinta berdiri dari tempat duduknya dan menjabat tangan pria tersebut. Senyum lebar tergambar di wajah mereka seakan-akan sudah dalam waktu yang lama tidak pernah bersua.

"Tio, ini Bram. Teman sekelasku dulu pas SMA.", ujarnya mengenalkanku pada Bram.

Aku pun berdiri dan menjabat tangan Bram.

"Hai, gue Tio.", ucapku.

"Hai Tio, gue Bram. Tunggu bentar, kemarin lu yang neduh terus terima pinjeman payung dari cewek, bener gak?", tanya Bram.

Bagaimana dia tahu? Oh, sontak aku teringat. Bram adalah nama pacar Dara. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan mobil sedan hitam di depan café tadi, batinku.

"Iya betul, berarti lu pacarnya Dara ya? Dan sedan hitam di depan itu punya lu kan?", tanyaku.

"Bener banget hahaha, wah dunia sempit juga ya ternyata," ucapnya sambil tertawa.

"Ya udah, yuk kita duduk dulu sambil lanjut ngobrol. Lu udah pesen makan, Bram?", tanya Sinta.

"Tadi sih baru pesen kopi aja, tapi kayaknya gue mau pesen makanan juga sekarang. Mas, mas.. Saya mau pesan Spaghetti Carbonara satu ya," ujarnya ke pelayan yang kebetulan melewati meja kami.

"Baik mas, ada lagi?", tanya pelayan tersebut.

"Sudah itu aja, jangan lama-lama ya.", ucap Bram.

"Jadi sekarang lu kerja di mana Bram?", tanya Sinta.

"Oh gue ngelanjutin usaha bokap. Bokap udah sakit-sakitan dan gak sanggup kalau ngurus perusahaan lagi. Jadinya ya sekarang gue yang ngurusin.", jelas Bram lalu tersenyum.

"Di bidang apa?", tanyaku.

"Kertas.", jawabnya singkat. Lalu Bram berdiri dari tempat duduknya.

"Sori gue ke toilet dulu ya.", ucapnya lalu berjalan ke arah kamar kecil.

"Oh jadi kamu kenal sama pacarnya Bram? Kenal di mana?", tanya Sinta sambil memicingkan matanya padaku.

"Kemarin. Kemarin pas aku mau berangkat ke kantor, aku keujanan. Terus Dara, pacarnya Bram, minjemin payungnya ke aku, soalnya dia dijemput pakai mobil sama Bram jadi kan dia gak perlu payung lagi.", jelasku pada Sinta. Lalu aku memegang bahu Sinta. Sinta mengelakkan badannya dan seolah berbicara bahwa dia tidak mau disentuh olehku. Ini tidak biasanya terjadi.

"Jadi, baru pertama ketemu, dia udah percaya gitu aja sama orang yang baru dikenal? Kok kamu gak cerita ke aku?"

"Sinta, sini aku jelasin dulu. Dia gak sengaja nyenggol aku terus makanan aku jatuh. Ya sebagai bentuk minta maaf, dia pinjemin aku payung biar aku bisa ke kantor.", jelasku.

"Ohh...", ucap Sinta dengan tatapan mata ke langit-langit café.

"Kamu cemburu ya? Sinta, aku gak ada apa-apa kok sama Dara. Kami cuma temen biasa aja. Gak lebih. Hati aku cuma untukmu, sayang.", kataku. "Percaya deh sama aku, Sinta. Aku cinta kamu."

"Permisi mas dan mbak. Ini pesanannya. Selamat menikmati.," ucap pelayan café memotong pembicaraanku dengan Sinta. Pelayan tersebut lalu menghidangkan pesanan kami, termasuk Bram, di meja.

Kemudian Bram datang dan duduk di kursinya sambil mengelap tangannya yang basah dengan sapu tangan warna coklatnya.

"Wah, sudah siap makanannya. Ayo makan sambil lanjut ngobrol.", ujar Bram lalu meraih garpu ke tangan kirinya, bersiap untuk memakan spaghettinya.

Payung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang