Bab 20

53 8 2
                                    

19 Maret 2002 11:42 PM

Aku baru sampai ke rumah. Badanku terasa letih sekali. Aku segera masuk ke kamar dan ganti baju.

"Malam Pak Wimar, ini saya Tio, maaf mengganggu malam-malam. Saya mau tanya, apakah rumah dan perkebunannya masih belum terjual? Saya berminat untuk mencarikan pembelinya. Terima kasih."

Aku mengirimkan sms ke Pak Wimar, pemilik dari rumah dan perkebunan pribadi seluas 7 hektar. Dia adalah pengusaha kaya yang bergerak di bidang tekstil. Aku mengenalnya dari Bu Rahma.

Tak lama ada sms masuk ke handphoneku. Dari Pak Wimar. Belum tidur dia ternyata, gumamku. Aku langsung membuka sms darinya.

"Ini Tio siapa ya? Nama saya bukan Wimar. Anda salah orang."

Aku terdiam. Hah? Yang benar saja, batinku.

"Ini bukan nomor Pak Wimar, teman Bu Rahma?"

Aku menunggu balasan sms ku.

"Sepertinya Anda salah nomor. Saya bukan Wimar dan saya tidak kenal Rahma."

Aku tertunduk lemas. Aku membenamkan kepalaku kedalam bantal. Kepalaku terasa sangat berat malam ini.

Apa yang harus aku katakan besok ke Dara. Tidak mungkin aku memberinya harapan kosong. Aku sudah berjanji akan membantunya mencari uang untuk membayar biaya pengobatan Rara. Kalau rencanaku tadi gagal, pasti masih ada jalan lain yang dapat ditempuh.


20 Maret 2002 10:14 AM

Aku menatap kosong layar komputerku. Aku sangat tidak bersemangat hari ini. Tadi pagi aku sudah bertanya ke Bu Rahma mengenai Pak Wimar, namun ternyata Bu Rahma hanya pernah bertemu dua kali saja dengan Pak Wimar dan nomor yang dipunyainya pun sama dengan nomor yang aku simpan di handphoneku. Bu Rahma tidak terlalu mengenal Pak Wimar.

Kuaduk perlahan secangkir kopi hitam di hadapanku. Aku menghirup aroma kopinya untuk sedikit meringankan beban yang ada di kepalaku. Aku belum bercerita mengenai hal ini ke Dara. Apa yang harus aku lakukan?, gumamku. Sepertinya aku akan minta tolong ke Mira, aku akan meneleponnya.

"Halo Mir, lagi sibuk gak? Bisa ke ruangan gue bentar?"

"Gak kok, gue malah gak ada kerjaan sekarang. Komputer gue lagi rusak, jadi gue duduk-duduk aja nungguin hehehe.. Oke, gue ke ruangan lu ya."

Aku menunggu Mira yang akan ke ruanganku. Aku harap Mira dapat memberiku pencerahan atau setidaknya dia dapat mendengar keluh kesahku untuk saat ini.

"Tio, kok lu kelihatan lemes sih? Sakit? Muka lu udah kayak mayat hidup tuh hahahaha..", ucap Mira.

"Gue lagi pusing, Mir."

"Ya tinggal makan terus minum obat, apa susahnya sih? Masa gue juga yang harus nyiapin? Emangnya gue suster pribadi lu?"

"Bukan pusing sakit kepala. Gue pusing karena lagi mikirin suatu hal."

"Dara?"

"Rara."

"Rara? Sejak kapan lu mikirin Rara? Oh jadi sekarang lu suka sama Rara? Mentang-mentang muka mereka berdua sama."

"Bukan, bukan itu maksud gue. Rara sakit dan gue nganterin dia ke rumah sakit semalam sama Dara. Biaya pengobatannya besar banget dan gue udah janji ke Dara mau bantuin cari duit buat biaya pengobatan yang diperluin."

"Rara sakit apa? Emang berapa biaya pengobatannya?"

"Anemia Aplastik. Biayanya bisa sampai ratusan juta."

Payung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang