20 Maret 2002 06:32 PM
Dara membuka bungkusan itu dengan perlahan, lalu dia bertanya kepadaku.
"Tio, gimana rencana buat jual rumah kenalanmu? Apa dia bisa dihubungi?"
"Udah kok, kamu tenang aja Dara.. Aku udah bisa hubungin orangnya. Aku juga udah ketemu sama calon pembelinya, kamu tenang aja ya."
Mira menyenggolku lalu melirikku dengan sorot mata tajam. Mira bertanya kepadaku dengan tanpa suara.
"Tio... Kok lu bohong??"
Aku menaruh telunjuk di depan bibirku tanpa sepengetahuan Dara, memberinya isyarat untuk jangan bertanya apa-apa dulu.
"Ada apa Tio?", tanya Dara.
"Oh ini Mira haus katanya, mau beli minum. Aku anterin Mira beli minum dulu ya.", jawabku.
Aku langsung menarik tangan Mira dan mengajaknya berjalan ke penjual minuman di depan rumah sakit.
"Tio, apa-apaan sih lu? Pakai alasan gue haus segala. Kok lu bohong sih ke Dara? Kenapa?", tanya Mira.
"Gue cuma gak pengen harapannya pupus, Mir. Gue gak mungkin bilang kalo rencana gue gagal. Makanya gue tadi terpaksa bohong."
"Terus sekarang? Lu mau dapet uang dari mana?"
"Belum tahu, belum kepikiran."
"Apa susahnya sih jujur? Bilang aja, apa adanya ke Dara, dia pasti ngerti kok."
"Gue cuma gak pengen nambah beban pikiran dia, Mir."
"Atau gue aja yang bilang ke Dara?"
"Jangan, Mir. Lu jangan bilang apa-apa."
"Tio, lu gak pengen nambah beban Dara, tapi saat ini beban pikiran lu yang nambah banyak. Emang lu bisa dapetin uang yang banyak dalam waktu singkat?"
Aku menunduk dan memegangi kepalaku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Mira. Mira berjalan meninggalkanku menuju penjual minuman. Dia membeli tiga botol air mineral lalu berjalan kembali menghampiriku.
"Ini, minum dulu. Biar pikiran lu tenang.", kata Mira.
Aku membuka botol tersebut lalu meminumnya sampai habis.
"Tio, gue tahu. Lu pasti berusaha buat ngasih yang terbaik untuk orang yang lu sayang. Tapi, bukan gini caranya. Ini cuma akan nyakitin lu doang, Tio.", ucap Mira.
"Gue lagi gak bisa mikir jernih, Mir. Gue akan coba semua cara buat dapetin uang yang diperluin."
"Tapi lu jangan halalin semua cara buat dapetinnya ya. Awas aja nanti lu ke dukun terus minta cara cepet buat dapetin uangnya."
"Gak kok. Gue gak akan kayak gitu."
"Hmm.. Gini aja. Gue akan bantuin lu juga buat dapetin uang. Mungkin Dara gak bisa terlalu fokus buat bantuin lu karena pikiran dia pasti juga lagi kacau karena keadaannya Rara. Lu juga lagi kayak gini, gak jelas. Gue pasti akan bantuin kalian."
"Makasih banyak ya Mir.", ucapku senang lalu dengan spontan memeluk Mira.
"Iya Tio iya, pelukannya jangan lama-lama, gak enak dilihat orang banyak."
Aku melepaskan pelukanku.
"Hahaha iya, maaf Mir. Gue seneng lu mau bantuin juga. Lu emang sahabat terbaik gue, Mir."
Mira tersenyum lalu memegang pundakku.
"Tenang aja, Tio. Kalo gue bisa bantu, gue pasti gak akan diam aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Merah
RomanceSebuah payung berwarna merah yang menjadi awal sebuah kisah percintaan cukup rumit yang dialami oleh seorang pemuda bernama Tio. Kehidupan percintaan Tio perlahan berubah semenjak kejadian di sebuah pagi yang diiringi oleh rintik hujan, bahkan ke d...