Bab 16

55 9 5
                                    


5 Maret 2002 07:46 PM

"Hai Bram. Lu bisa telpon gue sekarang."

Aku mengirimkan sms ke Bram. Sekitar sepuluh menit kemudian, Bram meneleponku.

"Halo Sinta, lagi apa? Bener nih gue gak ganggu waktu lu?"

"Halo Bram, gue lagi di kamar. Iya gue lagi senggang kok."

"Sinta.. Hmm.. Besok malem lu ada waktu?"

"Emang lu masih di kota ini?"

"Iya, besok lusa gue baru pulang."

"Boleh. Jam berapa? Di mana?"

"Jam tujuh, di restoran tadi siang kita ketemu."

"Oke. Emang ada apa sih Bram?"

"Banyak hal yang pengen gue tanyain besok."

"Gak bisa lewat telpon aja?"

"Banyak banget yang mau gue tanyain. Sampai ketemu besok ya, Kangguru."

Lalu Bram menutup teleponnya.

Kangguru, gumamku. Ternyata, kamu masih mengingatnya, Bram..

Bram dulu memanggilku kangguru karena aku sangat menyukai mamalia berkantung tersebut. Bahkan dia pernah membelikanku boneka kangguru sebagai hadiah ulang tahunku. Aku memanggil Bram dengan sebutan koala. 

Bukan karena dia menyukai binatang itu, namun karena aku menganggap kedua hewan tersebut berasal dari satu negara yang sama. Aku melihat sebutan itu lucu buatnya, namun dia sangat membenci panggilan itu.

Di hotel Bram..

Bram duduk di atas ranjangnya sambil melihat ke arah jendela. Bram mengingat-ingat kejadian-kejadian yang masih terekam kuat di dalam ingatannya. Dia mengingat awal perjumpaan dengan Sinta dan memulai hubungan pertemanannya dengan gadis itu.

Aku teringat jelas awal mula aku bertemu dengan Sinta. Dia menabrakku saat aku berjalan menuju kantin. Dia terlihat malu dan takut lalu mengucapkan minta maaf dan buru-buru pergi. Aku yang tidak tahu mengenai gadis itu lantas membiarkan saja dan melupakannya. 

Memang aku pernah melihatnya sebelum kejadian itu, dia berada di kelas yang berbeda denganku namun aku tidak tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam. Akan tetapi, keesokan harinya semua berubah. Aku melihatnya diejek oleh beberapa kerumunan teman pria sekelasnya. Beberapa dari mereka menyiram dia dengan air mineral. 

Aku yang marah melihat peristiwa itu lalu bergegas lari menuju kerumunan itu dan meninju wajah salah satu anak yang memegang botol air mineral. Mereka langsung lari terbirit-birit dengan wajah ketakutan setelah melihatku, mungkin karena mereka tahu, pemilik sekolah itu adalah tanteku. Aku menghampiri gadis itu dan mengetahui kalau namanya Sinta dari tulisan yang ada di tasnya. 

Kemudian aku mengantarnya pulang karena dia tak henti-hentinya menangis. Sejak saat itulah aku bersimpati dengannya dan menjadikannya temanku. Banyak teman-teman mencibir akan keputusanku berteman dengan Sinta, namun mereka tidak berani berbuat lebih karena mereka tahu dan sadar bahwa aku masih memiliki hubungan dengan pemilik sekolah.

Aku tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Sinta saat itu. Aku hanya berteman dengan tulus dengannya dan dia pun adalah anak yang polos dan lugu. Kami sering bercanda dan berbincang saat jam istirahat dan sepulang sekolah. 

Dia juga sering membantuku mengerjakan tugas sekolah. Dia anak yang pintar namun sayang kepintarannya tidak membuatnya memiliki banyak teman. Semua teman hanya melihat dan mengukur kemampuan seseorang dari segi ekonominya, bukan dari segi akademisnya. 

Payung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang