Bab 5

114 11 1
                                    


17 Februari 2002 08:20 PM

Nyaman? Aku pun merasakannya, Dara. Tidak hanya kamu, batinku.

Tiba-tiba, handphoneku pun berdering. Ada sms dari Intan, adikku.

"Kak, aku nitip martabak manis coklat ya kalau kakak sudah pulang. Makasih kak."

"Iya, nanti kakak belikan yang besar ya hahaha.." balasku.

"Dari siapa, Tio? Sinta ya?", tanya Dara.

"Oh bukan. Dari Intan, adikku. Dia nitip martabak.", jawabku sambil tersenyum.

"Deket sini ada martabak enak. Mau aku anterin? Jalan kaki aja, deket kok.", ucap Dara menawarkan.

"Oke, kalo kamu gak keberatan.", ucapku mengiyakan.

Kami pun berjalan keluar rumah dan menyusuri gang depan rumahnya. Aku berjalan sambil sejenak memandang wajahnya. Dara pun sedikit tersipu saat dia tahu aku melihat wajahnya.

Aku jadi bingung dengan apa yang aku rasakan. Apakah aku suka pada Dara? Namun aku tak mungkin mengkhianati Sinta. Aku sudah berpacaran dengan Sinta sejak lama bahkan aku akan menikahi Sinta tahun depan. Rasanya apa yang telah aku pupuk selama ini akan menjadi sia-sia saja kalau aku menyerah pada keadaan.

"Tio, kok kamu diem aja?", tanya Dara.

"Ah aku.. Aku tiba-tiba inget Sinta. Kemarin aku ngajak dia nikah tahun depan. Tapi dia nolak, alasannya kecepetan kalo aku nikahin dia.", ucapku lalu menundukkan kepala.

"Oh gitu. Biasanya cewek gak nolak kalo diajak nikah setelah pacaran lama. Apa ini gak kelihatan aneh, Tio?", tanya Dara penasaran.

"Gak tahu juga, yang jelas aku sedih. Aku jadi harus nunda rencanaku buat nikahin dia."

Kami pun sampai di depan penjual martabak. Aku pun segera memesan martabak pesanan Intan.

"Kamu mau gak? Aku beliin ya.", aku menawarkan.

"Gak usah, Tio. Makasih. Aku tadi udah makan.", ucap Dara lalu tersenyum simpul.

Setelah menunggu sekitar lima belas menit, martabak pesananku sudah jadi. Aku segera membayarnya dan kami pun bergegas kembali ke rumah Dara. Saat kami ngobrol dalam perjalanan, tiba-tiba ada tikus yang cukup besar melintas didepan kami. 

Sontak Dara berteriak karena kaget dan kemudian memelukku sambil membenamkan wajahnya. Aku pun menjadi sedikit salah tingkah, apalagi orang-orang di sekitar melihat ke arah kami berdua.

"Ah Tio, maaf ya. Aku tadi kaget. Aku takut banget sama tikus.". jelas Dara lalu melepaskan pelukannya.

"Iya Dara, gak apa-apa."

Hatiku berdebar tidak karuan. Namun aku berusaha menepis apa yang aku rasakan saat ini.

"Pipimu kok merah, Tio. Kamu gak apa-apa?"

"Gak apa-apa kok. Mungkin aku agak kecapekan hari ini.", jelasku.

Pipiku merah? Ah masa gara-gara tadi Dara memelukku, pipiku menjadi merah. Apa aku.. Ah, tidak mungkin. Kami pun tiba di rumah Dara.

"Dara, aku langsung pulang ya. Adikku pasti lagi nungguin sekarang."

"Iya Tio. Kalo gak cepat-cepat pulang, takut nanti keburu dingin martabaknya. Nanti kalo udah sampai rumah, kabarin aku ya."

"Iya Dara, nanti pasti aku kabarin. Makasih ya."

"Harusnya aku yang terima kasih ke kamu. Kamu udah repot-repot ke sini. Ya udah, hati-hati di jalan ya Tio.", ucapnya sambil tersenyum.

Payung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang