Bab 23

45 8 2
                                    


21 Maret 2002 06:52 PM

Aku mencium kening Rara dengan lembut dan menggenggam tangannya.

"Aku juga mencintaimu, Rara.", ucapku sambil melihat wajah Rara yang kemudian tersenyum.

"Makasih, Tio. Kamu pria yang baik. Selamat tinggal, Tio.."

Rara menutup kedua matanya dan tersenyum dengan penuh damai. Mesin pengukur denyut jantung yang memberi sinyal kehidupan Rara pun kemudian terdiam.

"RARAAAAA..."

Aku keluar dari ruangan sambil memanggil dokter yang kebetulan berjalan melewati depan kamar Rara. Dokter tersebut lalu masuk kamar dan mengecek kondisi Rara. Mira memeluk Dara yang menangis dengan keras. Mira mencoba untuk menenangkan Dara yang terus menangis sambil berteriak memanggil Rara. Kemudian dokter menggelengkan kepalanya dan berkata kepadaku.

"Maaf Pak, namun denyut jantung pasien sudah tidak ada. Pasien sudah meninggal."

Dara yang mendengar itu lalu pingsan dan tidak sadarkan diri. Mira mengambil minyak kayu putih dan menggosokkan ke bawah hidung dan kening Dara. Kemudian aku mengurus administrasi rumah sakit dan menelpon temanku untuk membantuku mengurus pemakaman Rara.


22 Maret 2002 10:14 AM

"Dara, kamu yang kuat ya.", ucapku menenangkan Dara.

Dara tidak berkata sepatah kata pun. Dia masih terguncang akan kepergian Rara. Semalam dia sering tidak sadarkan diri dan menangis tiada henti. Hari ini adalah hari pemakaman Rara. Tidak begitu banyak kerabat yang datang. Hanya sedikit saja dan beberapa teman kantor Dara, itupun hanya sebentar. 

Prosesi pemakaman pun juga tidak memakan waktu lama. Hari ini aku dan Mira ijin tidak masuk ke kantor karena membantu Dara. Bila Dara seorang diri saja mengurus pemakaman Rara, jelas dia tidak mungkin sanggup. Dara hanya menangis, pingsan dan tidak mengucapkan apa-apa, seakan separuh kesadarannya pergi.

"Dara, kamu makan dulu ya. Dari semalam, kamu belum makan apa-apa.", kata Mira.

Dara menggelengkan kepalanya dengan lemah. Pandangan matanya kosong.

"Tio, coba bujukin Dara biar makan. Kalo gak makan, ntar dia sakit.", ucap Mira padaku.

"Tadi pagi, udah gue bujuk buat makan, tapi dia gak mau. Gue juga khawatir sama keadaannya. Dia masih terguncang hebat. Dia belum ikhlas ngerelain kepergian Rara."

"Yahh, gue juga tahu dan bisa paham keadaannya saat ini, tapi ini gak bisa dibiarin, Tio. Lu harus cari cara biar dia mau makan."

"Gue bingung, Mir. Coba nanti gue cari cara lagi buat ngebujuk dia."

"Makanannya gue taruh deket tas lu ya. Oh iya, nyokap jadi nyusul ke sini kan?"

"Iya Mir, paling bentar lagi sampai."

"Kenapa lu gak minta tolong nyokap aja buat ngebujuk?"

"Oh iya, ide lu bagus juga. Oke nanti gue minta tolong nyokap buat bantuin."

Aku melihat Dara masih menangis sambil memegang batu nisan Rara. Aku dan Mira sangat sedih melihat Dara seperti itu. Tak berselang lama, Ibu datang dengan sedikit tergopoh-gopoh berjalan ke arahku. Aku segera dengan cepat menghampiri beliau.

"Ibu.. Aku mau minta tolong.."

"Mau minta tolong apa nak? Mana Dara?", tanya Ibu lembut.

"Itu dia di sana, masih di makamnya Rara. Dia belum makan dari semalam sampai sekarang. Aku sama Mira gagal ngebujuk dia buat mau makan."

Payung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang