Bab 18

41 7 0
                                    

13 Maret 2002 07:10 AM

"Makasih banyak Bram. Lu baik banget ke gue. Dengan apa gue bisa balas semuanya?"

"Lu jangan ngerasa berutang apa-apa. Gue tulus bantuin lu."

"Ketulusan yang kayak apa Bram? Tulus ke gue hanya sebagai seorang teman lama atau sebagai seseorang yang punya tempat tersendiri di hati lu?"

"Hmmm...", aku menghela nafas sejenak. "Sebagai.. Sebagai teman lama yang memiliki tempat tersendiri di hati gue.", jawabku.

"Bram.. Biarkan waktu yang akan menjawab..", ucap Sinta sambil tersenyum kecil.


18 Maret 2002 09:15 AM

Di kantor Tio..

Tio terlihat sibuk membereskan laci meja kerjanya. Saat Tio mengeluarkan dokumen-dokumen dari dalam lacinya, ada selembar foto terjatuh dari lembaran dokumen-dokumen tersebut.

Foto Sinta, gumamku.

Namun aku kini sudah tidak memiliki perasaan apa-apa ke Sinta. Hatiku kini sepenuhnya milik Dara. Walau aku dan Dara tidak berpacaran, aku sering menghabiskan waktu dengannya. Aku tahu sebenarnya Dara juga memiliki perasaan yang sama terhadapku namun aku tak habis pikir kenapa dia tidak mau menjadi pacarku.

Mira memasuki ruanganku lalu duduk di kursiku.

"Tio, ntar makan siang di warung ujung jalan yuk. Agak jauh sih emang. Tapi warung ini baru buka terus katanya enak gitu sih. Mau coba gak?"

"Masakannya apa aja, Mir?"

"Macem-macem sih. Sambelnya sih yang katanya juara. Mau gak?"

"Sebenernya perut gue agak sakit. Tapi, ya udahlah, gue mau."

"Beneran gak apa-apa?"

"Iya, tenang aja. Toh makan sambel pas perut lagi sakit, gak sampai bikin gue meninggal kan?"

"Ya gak lah, Tio.. Ada-ada aja lu, hahaha.."

"Oke nanti ingetin gue ya. Gue takut lupa."

Mira mengacungkan jempolnya lalu berjalan keluar dari ruanganku.


18 Maret 2002 11:49 AM

Aku mengaduk kopi di cangkirku dengan perlahan. Tenggat waktu yang diberikan Bu Rahma untukku terasa singkat. Aku harus menyelesaikan pembuatan proposal kerjasama dengan salah satu media asing dalam dua hari ini sedangkan nomor telepon yang diberikan padaku sangat susah untuk dihubungi. Kuteguk kopi hitam kental perlahan, menikmati aroma kelembutan kopi yang masuk ke hidungku.

"Tio!! Ayo jalan sekarang!", teriak Mira mengagetkanku.

Aku tersedak dan sebagian kopi yang kuminum keluar melalui lubang hidungku.

"Aduhhh Mir... Gak usah teriak-teriak dong.. Kopinya jadi masuk hidung gue kan nih.."

Aku mengambil sapu tangan dari saku celanaku lalu mengeringkan hidung dan mulutku. Bajuku juga terkena cipratan kopi yang tersembur keluar melalui hidungku, untung saja aku sedang memakai kemeja berwarna hitam sehingga tidak terlihat noda kopi di bajuku. Aku sedikit jengkel dengan sikap Mira yang sering membuatku kaget, kalau aku punya jantung yang bermasalah mungkin aku sering tidak sadarkan diri karena ulah Mira.

"Iya Tio.. Maafin gue ya..", pinta Mira sambil mengatupkan kedua tangannya.

Mira menghampiriku lalu membantu mengelap bercak-bercak kopi yang terkena mejaku dengan tisu yang dia ambil dari dalam tasnya.

Payung MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang