6. Bukan Dambaan

151 9 0
                                    

Setelah pertemuan pertama di rumah Rasyid, Banyu merasa tidak bisa menerima Bbiya sebagaimana keinginan kedua orang tuanya. Namun Dirinya pun tak mampu menolak. Gulat dalam pikirnya bergejolak, berusaha menjalani dan mengenali perempuan itu.

Selain itu, bibi Marwah tengah semangat untuk meminta Banyu mengantarkan kue yang dibuatnya untuk Bbiya, setelah mendengar bahwa Bbiya sangat menyukai kue kering buatan bundanya. Namun karena jarang pulang, dirinya harus rela menahan rasa rindu pada masakan sang bunda.

Sesuai alamat yang diberikan Biyan, Banyu tiba di sebuah ruko yang berada sejajar dengan ruko penjualan aneka bisnis. Strategis untuk pemasaran menarik pelanggan, kawasan usaha Bbiya cukup nyaman dan mudah dijangkau. Terdapat beberapa cafe dan resto di sekeliling Bbiya. Memudahkan akses makan siang bagi karyawan maupun pelanggan.

Dibalik pintu Banyu menangkap keberadaan Bbiya yang tengah sibuk membereskan produknya. Wanita itu mengenakan rok bahan chiffon sepanjang lututnya dipadukan dengan kemeja berwarna putih lengan seperempat dan kancing atas yang jarang dia terapkan. Gelengan kepalanya pelan.

Banyu melangkah masuk dan mengucapkan salam. Bbiya yang heran dengan lafadz salam yang jarang didengar dari pembelinya pun menoleh. Menatap keberadaan Banyu beberapa detik, lalu kembali fokus pada barang yang masih dipegangnya. "Ngapain kamu kesini?" suaranya ketus.

"Umi yang meminta antar kue ini..." Banyu sudah duduk tanpa diinstruksi Bbiya. Meletakan kotak kue itu di atas meja.

"Siapa yang suruh kamu duduk..." kata Bbiya mulai mengalihkan pandangannnya, tajam tertuju pada Banyu.

"Inisiatif sendiri, masa sudah jauh - jauh ke sini duduk aja ngggak boleh," ujarnya meneliti sekeliling. Bola matanya berselancar pada tiap produk yang dijual Bbiya.

"Cuma antar kan, berarti langsung pulang..."

Mendengar kata - kata Bbiya Banyu berdecak kesal. Berusaha menahan emosinya. Lalu bangkit dari tempat duduknya. Menatap tajam pada Bbiya yang masih berdiri di tempat. Lekat, Banyu memastikan sesuatu yang membuat Bbiya tidak nyaman. Terlihat sulit menelan ludahnya.

"Harusnya kamu jujur, kalau memang kamu memiliki kekasih. Agar aku tidak usah repot - repot untuk perkenalan dengan kamu. Membuang - buang waktu," katanya ketus masih menatap sinis Bbiya.

"Kenapa tidak kamu saja yang menolak," tantang Bbiya.

"Pantas saja! Kau ahli sekali dalam berakting, sampai berhubungan dengan suami orang pun biasa saja menurutmu."Kalimat kasar dari Banyu itu menghentak dada Bbiya. terlihat geram dengan mengepalkan tangannya pada benda yang ada di tangannya.

Bisa - bisanya lelaki itu mengatakan hal tersebut. Tahu dari mana dia? Kenal saja tidak, Pertemuannya aja baru kemarin. Bagaimana dia tahu apa yang terjadi pada dirinya. Pikir Bbiya.

"Apa maksud kamu?" suara Bbiya sedikit gugup.

"Sepertinya kamu lupa, atau kamu memang mabuk di club malam itu?" ucapnya sembarang memancing amarah Bbiya. Tangannya sudah mengudara hendak menampar Banyu, namun ditahan tegas oleh tangan Banyu. Tatapannya tajam saling bertemu.

"Sepertinya urat malu pun sudah putus, meski sudah dipergoki istri pria itu," timpalnya

Terlihat air wajah Bbiya semakin mengeras, penuh amarah tidak terima dengan perkataan Banyu. "Jangan sok tahu kamu tentang aku, kamu nggak ada hak ngomong kayak gitu." tatapan semakin membenci pria yang baru saja dikenalnya, terlalu dalam ikut campur tentang dirinya. Dan itu tidak pantas menurut Bbiya.

Berusaha melepas genggaman darinya, Banyu membiarkan Bbiya bebas. "Kenapa umi tertarik pada Bbiya hanya dalam sekali bertemu. Karena abi dan ayahnya bersahabat? Tidak masuk akal. Dia terlalu angkuh sebagai kodrat wanita," batinnya.

Mengingat sesuatu dari perkataan Banyu, Bbiya tertawa sinis. Sudah memicingkan mata pada pria itu. Penuh berani, "Kamu pikir, kamu baik?" tanyanya sudah menajamkan tatapannya dan maju satu langkah mendekat pada Banyu. "Lalu, untuk apa kamu kuliah belajar agama jauh - jauh, tapi masih masuk club malam?" katanya merasa menang. Meski tidak yakin dengan apa yang dikatakannya.

Banyu menghela nafasnya panjang, yang dikatakan Bbiya memang ada benarnya. Tapi, kedatangannya ke tempat itu bukanlah keinginannya, dan perempuan itu tidak tahu kebenarannya bahwa Banyu pun ikut pergi setelah sadar saat tiba di tempat yang dijanjikan temannya untuk bertemu, setelah insiden bisikan tentang pelakor menyeruak dan tertabrak tubuh seorang wanita yang angkuh.

Kemudian dia lebih memilih berlalu. Hendak meninggalkan toko aksesoris milik Bbiya yang diberi nama My Unique Store. Terdengar suara ponsel yang berdering dan sapaan dari balik tubuhnya.

"Ke rumah paman? tapi yah-" suara Bbiya tersenggal oleh kalimat diujung gawainya. "Iya tadi memang ke sini, tapi dia sudah pulang yah..." jawabnya sepertinya Bbiya berbohong.

Tak lama kemudian sebelum tangannya meraih daun pintu untuk keluar, ponsel Banyu ikut berdering di saku celananya. "Assalamualaikum bi, iya Banyu sudah keluar dari tempat Bbiya. Ada apa," jawabnya tidak ingin mengadu domba jawaban perempuan yang masih ada di balik tubuhnya. "Ya bi, nanti Banyu balik lagi. wa'alaikum salam...." responsnya menyimpan kembali ponsel di saku celana dan berbalik. Menatap penuh Bbiya yang juga masih bergeming usai menerima telepon tadi.

Sudah tahu apa yang dimaksudkan, ayahnya pasti sedang bersama paman Rasyad dan meminta Banyu untuk membawanya ikut ke rumah paman. Ayah bilang akan ada acara di rumah paman Rasyad, ayah Banyu.

"Kalau kamu tidak mau ikut juga tidak apa - apa, akan aku sampaikan pada umi dan abi kalau kamu sibuk," suaranya membuat Bbiya risih. Jika ayahnya yang sudah memanggil tak mungkin dirinya menolak.

"Tunggu, aku ganti baju dulu," ucapnya malas menuju satu ruangan yang berada di samping kasir. Tidak butuh waktu lama, Bbiya sudah keluar dengan setelah celana bahan yang mengerucutkan kakinya dipadupadankan dengan tunik berwarna abu muda bergaris tanpa hijab. Hanya menyelipkan jepit bermotif mutiara pada rambutnya yang tergerai.

Banyu rasanya tidak kaget dengan penampilan Bbiya yang apa adanya. Sejak pertemuan pertamanya dengan wanita yang memiliki beragam karakter, satu sisi membuatnya risih namun masih dalam toleransinya. Meski ada beberapa hal yang telah dilihatnya dan membuatnya kesal. Melihat penampilannya yang berganti, seolah Banyu sedikit dibuat nyaman dengan pakain Bbiya yang lebih tertutup walau masih tak berhijab.

"Bantu aku menutup toko dulu, hari ini karyawanku sedang cuti jadi aku harus menutup mata pencaharianku karena undangan mendadak," sindirnya tak dihiraukan Banyu. Lelaki itu meraih tali gorden untuk menutup jedela, sementara Bbiya sudah mengunci laci dan mematikan lampu.

Keduanya sudah berada di mobil. Hening, Bbiya sulit memulai pembicaraan dengan orang yang baru dikenal. Apalagi dengan orang dalam hitungan satu hari sudah mengulik kelemahannya. Tidak bisa. Apalagi rencana keluarganya untuk menjodohkan Bbiya dan Banyu. Rasanya tidak mungkin. Harusnya Banyu menikah dengan perempuan shalihah yang berhijab, atau bahkan menutup wajahnya dengan cadar. Bukan Bbiya, yang bahkan tidak menutup auratnya dengan sempurna. Bukan perempuan dambaan pria yang akan menikahinya.

----------------------------------------------------------------------------------------

Alhamdulillah. Setiap bab selesai dengan lancar. Selamat malam, semangat untuk ibadah puasa esok hari.

Jangan lupa yah kasih bintang dan komen kamu disini.

KALBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang