17. Jangan Katakan Aku Salah

59 1 0
                                    

"Aku bisa sendiri, kamu gak perlu repot bolak-balik antar atau jemput aku.", Kata Bbiya saat Banyu memaksakan diri mengantar Bbiya ke toko padahal dia memiliki jadwal mengajar di Ponpes.

"Ini bagian tugas suami."

"Cukup. Kamu gak perlu jadi suami yang baik untuk aku. Bukannya waktu itu kamu mengerti apa yang aku maksud. Jadi buat apa kamu repot-repot." Keluhnya pada Banyu dalam perjalanan dari toko. "Ahhh, Nomor tiga. Aku tahu aku harus izin kamu, aku pergi juga bilang kan.  Jadi kamu hanya perlu bilang iya, silahkan!"

"Kamu pikir tanggung jawab sebagai suami hanya sekedar itu?" Amarahnya yang terdengar tertahan. Banyu berusaha mengontrol nada bicaranya.

"Aku tidak pernah meminta pertanggung jawaban kamu sebagai seorang suami. Tapi...." Kalimatnya terpotong oleh pikirannya sendiri. Tidak ada yang salah dengan Banyu namun Bbiya tak mampu mengontrol dirinya sendiri.

"Jadi mau kamu apa sekarang?" Tanya Banyu menghentikan laju mobilnya.

Mendengar kalimat itu Bbiya merasa sesak, tidak seperti yang diinginkannya. Mengedikan kedua bahunya sendiri untuk menunjukan kekuatan dalam diri.

Melihat sekeliling jalanan yang cukup dipadati kendaraan, merasa tidak enak hati jika membicarakan banyak hal disini. Terlebih suasana yang tidak mendukung. Bbiya tidak ingin membuat keributan.

"Kita bicarakan di rumah..." Ucapnya membuat Banyu kembali menyalakan laju mobil. Tanpa kata dalam sisa perjalanan pulang hanya tersisa suasana hening.

Bbiya sudah berjalan mengekor di balik tubuh Banyu. Duduk di antara meja makan. Bbiya dipenuhi rasa bimbang. Satu sisinya ingin hidup seperti apa yang diinginkan, namun satu sisinya menentang. Hadir sebersit rasa bersalah dalam dirinya saat mengucapkan kalimat tentangan.

"Sekarang terserah kamu mau bagaimana. Kamu bisa hidup semau kamu. Aku tidak akan ikut campur." Kata Banyu tanpa duduk terlebih dahulu dan langsung pergi.

"Apaan sih," Bbiya kesal sendiri, "Kok kamu bicara seperti itu? Aku bilang kan kita bicarakan dulu." Bbiya bangkit dari posisinya.

"Tidak ada yang harus dibicarakan. Kamu sendiri kan yang tidak ingin banyak aturan. Mudah aja kok, kamu nggak perlu kesal. Kamu yang minta agar aku tidak bertanggung jawab seperti seorang suami. Akan aku ikuti maumu." Banyu berusaha mengontrol nada bicaranya. Namun sikap yang tenang dan menuruti apapun maunya malah semakin membuat Bbbiya menyesali diri.

Bbiya memilih berdiam diri setelah Banyu memasuki kamar. Suasana seperti itu pasti menganggu. Bbiya rasa tak mampu menatap wajah Banyu yang kesal padanya. "Astagfirullah, Bbiya tidak bermaksud membuat Mas Banyu marah ...."

---

Bbiya duduk di meja rias untuk menggambar sketsa aksesoris buatannya. Dirinya terpaksa duduk di sana karena Banyu sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya. Bbiya pun tidak bisa tidur dengan perasaan canggung seperti ini. Dia lebih memilih berpura - pura mencari inspirasi  agar terlihat lebih produktif.

Suasana hening yang kini mengusik, sangat tak disukainya. Meski berusaha fokus, Bbiya terganggu dengan sikap cuek Banyu. Biasanya memperbincangkan sesuatu yang belum diketahuinya. Banyu sesekali cerita masa kuliahnya di Qairo. Atau pertengkarannya dengan Rara. Meski tidak tiap hari karena  Banyu harus pergi ke Jakarta untuk tetap menjalin silaturrahim dengan guru-guru dan kawan-kawannya dari Qairo dalam menjalankan proyek dakwah. Namun dua hari ini Banyu bahkan seperti menghindar dari Bbiya.

Bbiya haus dan bangun dari tempat duduk. Dia mengambil satu gelas namun pikirnya untuk membawakan satu gelas air juga untuk Banyu. Meski ragu, Bbiya tetap membawanya. Berjalan menghampiri Banyu yang masih fokus pada laptopnya.

KALBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang